Sebuah novel karya Ayu Utami yang awalnya kukira berisi cerita dari orang-orang sinting karena aku belum membaca ceritanya sampai habis, tapi yah itulah seni, memaparkan sesuatu yang tidak biasa.
Di bab pertama menceritakan
tentang tokoh utama di dalam novel yaitu si Larung Lanang yang ingin membunuh
neneknya sendiri. Awal membaca memang sudah terlihat sintingnya, yaitu ingin
membunuh neneknya sendiri.
Neneknya itu sudah tua, dia
maunya dirawat oleh Larung, sudah ada 150 suster yang merawat neneknya, tapi
semua tak tahan, neneknya itu sering mengeluarkan sumpah serapah dan berprilaku
buruk pada yang merawatnya, tapi tidak dengan Larung. Mungkin karna Larung
adalah lelaki, dan neneknya suka kepada lelaki.
Karna neneknya memperlakukan
Larung berbeda dengan yang lainnya, Larung sering bertanya pada dirinya,
siapakah dia bagi mbahnya ? cucu, anak,
suami ?
Larung merasa neneknya sudah tua,
sejak dia mengenal neneknya, neneknya sudah tua, jadi dia heran kenapa neneknya
tidak mati-mati ? ibunya mengatakan bahwa neneknya memiliki susuk atau
semacamnya, jika dia ingin neneknya mati, maka dia harus mengeluarkan susuknya
itu dulu dari neneknya.
Larung mulai mencari informasin
mengenai neneknya, dari album foto dia mengetahui bahwa neneknya memiliki
sahabat bernama Suprihatin, nama neneknya sendiri adalah Anjani yang baru dia
ketahui, karna selama ini yang dia tau nama neneknya adalah si mbah.
Kemudian Larung mencari sahabat neneknya melalui keturunanya,
rata-rata keturunan sahabat neneknya itu
mengalami keanehan, ada yang hidupnya serba sebelah (cacat), ada yang
kehilangan pita suaranya, dan Larung menganggap bisa saja itu adalah tumbal
dari perbuatan keturunan yang di atas, tapi mereka tidak menganggapnya sebagi
tumbal, melainkan lebih ke hal yang istimewa.
Akhirnya Larung bertemu dengan
Suprihatin, dan memberikan Larung 6 buah cupu yang harus di jejerkan ke tubuh
neneknya dari dada hingga pusaran. Akhirnya Larung melakukannya dan mendapati
neneknya sudah tidak bernafas lagi.
Si mbahnya sudah tidak bernfas,
dan dia ingin mengeluarkan biji-biji
gotri dan susuk yang ada pada tubuh neneknya, maka dia membedah isi perut
neneknya kemudian kepala namun tidak didapatinya susuk itu, sebenarnya dia
berencana ingin mengkremasi neneknya dan menjadikannya abu namun itu akan
membuat karyawannya takut karna jasad neneknya sudah mampat dalam dua kotak.
Maka dia memakamkan neneknya di kebun belakang dekat sumur pompa, dan peristiwa
itu membuat ibunya ngeri.
Yang dilakukan Larung itu adalah
mengeuthanasia neneknya. Dieuthanasia yaitu hak untuk mati, kata kerja pasif
artinya memenuhi haknya untuk mati. Neneknya sudah tua, sudah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi, jadi lebih baik mati. Karna difikirannya neneknya itu
sudah lama mati, hanya jasadnya saja yang hidup, tapi difikiran Larung neneknya
itu tidak pernah mati, sebenarnya karna
di perlakukan berbeda oleh neneknya dia merasa istimewa dan dia menganggap
neneknya itu adalah kekasihnya.
Sebenarnya dari kisah
meninggalnya nenek Larung ada cerita peristiwa tahun 64 dimana ayah Larung
mencari keuntungan dari subsidi beras pemerintah dan tahun 65 dimana ayahnya
diculik dan dibunuh, selain itu, ibunya pun ingin dibunuh karna dituduh sebagai wanita penghibur, tapi hal itu tidak terjadi karna neneknya menantang mereka semua dengan
tatapannya. Neneknya berkata kalau dia yang tertua di kampong itu, tidak ada wanita penghibur, kalaupun ada maka dialah wanita itu, maka merekapun pulang.
Bab berikutnya menceritakan
orang-orang sinting lainnya,
Cok, Yasmin, Laila, dan
Sangkuntala empat sekawan yang tidak waras menurutku.
Sangkuntala adalah seorang penari
di new York, Cok, Yasmin dan Laila berkunjung untuk melihat pertunjukannya , dibalik
itu semua Cok sebenarnya ingin menemani
Laila ke new York untuk menemui kekasihnya gelapnya Sihar yang sudah beristri,
tapi Yasmin ikutan ingin menemani Laila padahal dia sendiri ingin berselingkuh
dengan Saman lelaki yang mereka bantu melarika diri ke new York karna pernah
menyebabkan kerusuhan di Medan.
Dan ternyata Sihar datang ke New
York bersama istrinya sehingga susah bagi Laila untuk menemuinya, hingga
akhirnya Laila berhubungan dengan Sangkuntala yang ternyata seorang biseksual,
Cok sendiri dia adalah seorang perek berhubungan dengan setiap pria yang
ditemuinya kecuali Larung, Cok kenal
dengan Larung dari pertemuan mereka di Bali saat upacara ngaben family jauh,
Cok tertarik mendekati Larung karena kisah hidup neneknya yang seru yaitu
seorang putri bangsawan yang memilih
menikah dengan orang belanda dan akhirnya meninggalkan puri karna di anggap
mencoret nama keluarga.
Dan ternyata sekawanan sinting itu ternyata tergabung dalam
gerakan bawah tanah yang ingin menumbangkan orde baru dan Larung termasuk
didalamnya. Tahun 96 Larung terlibat dalam misi membantu 3 aktifis kabur ke
luar negri melalui perairan natuna. Tahun 96 itu sedang terjadi peristiwa rezim orde baru menyerbu pertahanan pro
megawati, kejadian itu menimbulkan kerusuhan di sekitar wilayah Kramat-Salemba
Jakarta, seluruh ruko ruko di bakar dan di hancurkan, selamat perpustakaan
Negara tidak ikut dibakar oleh masa.
Dalam misi membantu 3 aktivis itu
lari ke luar negri, Saman bertugas menjemput Larung dan 3 aktivis itu di pulau
Kijang di bantu Asnon adik angkatnya. Sayangnya dalam misi itu mereka
tertangkap karena pesawat telpon yang
dibawa oleh aktivis itu tercium oleh polisi. Koba, Togong dan Bilung nama para
aktivis itu. Setelah tertangkap kepala mereka ditutup oleh karung hitam,
setelah itu mereka diserahkan kepada komandan militer. Saman bersama Larung,
dan mereka berdua mati ditembak komandan itu karna entah kenapa Larung tahu
tentang komandan itu juga pamannya yang mendapat penghargaan dan naik pangkat
karna bukan dengan usahanya sendiri.
Aku membaca novel ini dari
aplikasi Ijakarta, suatu aplikasi perpustakaan digital, dimana kita bisa
mengakses e-book yang banyak tersedia di dalamnya. Novel Larung ini kutemui
saat aku mencari buku apa yang ingin ku baca di kategori sejarah, aku cukup
penasaran kenapa sebuah novel bisa masuk kedalam kategori sejarah.
Saat membaca bukunya baru kutahu
mengapa novel ini masuk di kategori sejarah. Seperti yang tadi di atas ku
ceritakan, novel ini ada membahas peristiwa tahun 1965 dan 1996. Novel ini adalah lanjutan dari karya Ayu Utami
yang berjudul “Saman”. Aku kurang tahu isi novel yang Saman itu bagaimana, aku
belum pernah baca. Tapi mungkin keduanya ada saling keterkaitan.
Gaya penulisan novel ini begitu
nyata dan jelas. Sebut saja saat Ayu Utami menceritakan Larung mengeuthanasia
neneknya, langkah-langkah optosi mayat sangat rinci di jelaskan, aku sampai
melewatkan adegan itu, gak berani baca, karna jujur saja aku sangat ngilu
dengan hal bedah membedah seperti itu. Juga lagi di dalam novel ini ada
beberapa adegan dewasa yang sangat terbuka di ceritakan oleh Ayu Utami. tapi diluar itu semua aku suka dengan kata-kata yang dikeluarkan Ayu Utami, walau seperti membolak-balik kalimat, tapi terasa enak saja dibacanya. :)