Sebenarnya awal maret pemerintah telah mengumumkan bahwa di Indonesia sudah ada yang positif Covid-19, dan penyebarannya sungguh sangat cepat. Dari acara akad kami tanggal 13 maret masih adem ayem, tanggal 16 maret keadaan semakin genting dan kasak-kusuk karena semakin banyaknya korban. Bahkan di Wonogiri pun sudah ada yang meninggal usai menghadiri acara seminar di Bogor.
Akhirnya aku minta agar di Wonogiri acaranya diundur saja, toh acara akad sudah selesai. Tapi ibuku masih menganggap enteng dan ingin agar acara tetap dilaksanakan supaya semuanya selesai. Lagian katanya dia sudah pesen ini itu dan sudah belanja bahan makanan juga. Sebelumnya aku juga minta tante yang di Jakarta jangan ke Wonogiri dulu aja, tapi hari rabu dia sudah sampai Wonogiri.
Memang, Wonogiri masih aman dari corona, tapi masalahnya kami membuat suatu keramaian. Akan ada banyak orang yang berkumpul, datang darimana saja. Bisa saja saat dalam perjalanan ke Wonogiri kami telah tertular dan di Wonogiri malah menularkan banyak orang, apalagi jika yang tertular itu yang kondisi tubuhnya lemah. Sebelum ke Wonogiri atau sebelum acara aku terus saja berdoa semoga tidak ada yang terkena penyakit corona usai menghadiri acara kami. Semoga semua sehat-sehat saja.
Seharusnya acara pernikahan aku dan Irfan skitar bulan Juni, usai lebaran idul fitri. Tapi karena menurut kami itu terlalu lama, maka disepakatin lah menjadi bulan maret. Alasan akan dilakukan bulan Juni karena musim hujan baru datang bulan januari. Dan benar saja sebelum hari H, hujan terus saja turun.
Begitu kami sampai Wonogiri, kami langsung ke rumah bu Vita, bidan di desa kami untuk cek suhu. Karena normal, kami bisa melanjutkan aktivitas. Pertama-tama kami ke vendor nikahan yang ngurusin plaminan dan riasan, btw ini ibu ku ambil paket, udah sama dokumentasi sekalian. Kami fitting pakaian yang akan digunakan, ada 2 pasang pakaian yang harus kami pilih. Formal (adat) dan santai (gaun). Sebenarnya aku kurang suka dengan gaunnya, terlalu ribet dan heboh, tapi gak ada pilihan lagi hiks dan juga aku gagal pakai hena karena yang masangin takut tertular covid.
Setelah itu aku lanjut membungkus seserahan ke salon dekat rumah. Sebenarnya ini mepet tapi dia mau juga menerimanya, tapi dia tidak mau menyebutkan harganya. Saat diambil, aku dan ibu ku ngomel ngomel karena harga jasanya sampai Rp. 500.000 untuk 7 barang. Dan yang bikin kessel, lagi-lagi dokumentasi kurang berguna, momen gak dapet. Gak ada dokumentasi keluarga Irfan membawa seserahan itu. Padahal aku dan Irfan sudah capek-capek belanja di Bandung, bawa ke Wonogiri, dan bawa lagi ke Bandung.
Begitu kami kembali, pelaminan sudah dipasang, menurutku terlalu besar sih, agak sayang.. mengingat sepertinya takkan ada yang datang. Kakak yang di Bekasi tidak bisa datang karena bos suaminya tidak mengizinkan, saudara yang di Jakarta juga sama, kecuali lek miyem dan mbok dhe, karena mereka sudah ke Wonogiri lebih dulu. Kak Omma yang di Rantauprapat juga tidak jadi datang, padahal sebelumnya sudah heboh untuk pesan tiket pesawat. Begitu pula dari keluarga Irfan, yang tadinya mereka akan pesan mobil Hiace untuk rombongan, jadinya hanya pesan satu mobil biasa saja untuk teh Ucu dan teh Ima yang masing-masing bawa bocah si Tiara dan Azfa. Tambah sopir, total mereka yang datang hanya 5 orang yang tadinya hampir 15 orang.
Sehari sebelum acara, bolak-balik orang dari Puskesmas Girimarto melakukan penyuluhan covid. Bahkan belakangan ada yang bilang, kalau saat itu tenda-tenda sudah hampir disuruh bongkar, tidak boleh melakukan acara. Tapi dengan syarat menerapkan protokol kesehatan, acara kami akhirnya dapat terlaksanakan. Dengan menyediakan tempat cuci tangan di pintu masuk dan keluar, tidak bersalaman, hanya namaste namaste aja, juga melap kursi dan barang-barang yang ada di situ dengan cairan disinfectan sebelum digunakan di hari H.
Malam minggu, katanya ada pengajian. Dalam imajinasiku, aku kira aku juga ikut mengaji seperti diacara pengajian orang-orang. Tapi ternyata pengajian di sini berbeda. Yang mengaji hanya pak Ustad dan ditemanin sekumpulan ibu-ibu pengajian main nasid. Padahal dulunya, aku ingin ibu-ibu pengajian ini bermain nasid saat aku keluar masjid dekat rumah usai melangsungkan akad. jadi malamnya murni ngaji, memuji dan berdoa kepada Allah Swt.
Hari resepsipun tiba, aku dirias selama 3 jam dengan hasil yang menurutku cukup menor. Begitupula dandanan ibuku. hiks kasihan sekali dia. Acara resepsi juga hanya berlangsung singkat. Hanya acara adat jawa, ketemu maneten lalu dilanjutkan dengan foto bersama. total acara hanya 3 jam saja setelah itu, langsung bubar. Lanjut mantennya bersih-bersih usai acara haha..
Yaa karena acara di Jawa, para tamu banyakan adalah tamu Ibu ku, bukan tamu kami berdua. Bahkan kadang tamu gak tau tuh mantennya yang mana. Karena H-3 tenda sudah dipasang, para tamu sudah silih berganti berdatangan ke rumah dari H-3 bahkan H+ setelah acara inti yang hanya 3 jam itu.
Aku senang sih, mereka cukup aware dengan covid-19 ini, dan pemerintah juga gencar sosialisasinya, sehingga mereka sadar. Alhamdulillah sampai bulan agustus ini, aku gak denger kabar ada yang meninggal karena covid di kampung kami.
Alhamdulillah semua acara tentang pernikahanku sudah beres. Bisa membahagiakan Ibu karena anaknya sudah seperti orang-orang (merayakan hari pernikahan) walaupun uangnya dari kami juga wkwk tapi tentu saja tenaga dan jasanya dalam mempersiapkan acara jangan dilupakan. Sedikit sedih karena saudara-saudara sepupu, bocil-bocil, teman-teman yang dikenal tidak bisa hadir di acara kami. Tapi sekali lagi, yang penting semua sudah beres. karena per hari senin, tanggal 23 maret. sudah tidak diperbolehkan melakukan acara apapun lagi. PSBB dimulai.
Realita : jadi kaya main lenong, jadi tontonan dan makeup nya tebel bgt cuyy wkkw
No comments:
Post a Comment