Thursday, December 15, 2016

Ngaleut Bosscha


Untuk orang yang awam akan sejarah, saya tidak pernah tau siapa itu Bosscha, yang saya tahu hanya Observatorium Bosscha yang ada di daerah Lembang, Jawa Barat. Itu lho, tempat untuk mengamati benda-benda luar angkasa, itupun saya tahu dari filem Petualangan Sherina yang sempat hits saat saya kecil.

Semenjak bergabung dengan Komunitas Aleut, saya jadi lebih tau mengenai sejarah yang ada di kota Bandung, dari obrolan ringan di grup WhatsApp ada #CeritaAleut yang membahas sejarah di kota Bandung, kemarin pernah membahas bangunan-bangunan bekas colonial. Yah salah satunya adalah Observatorium Bosscha, bangunan peninggalan bangsa Belanda.

Bosscha yang mempunyai nama lengkap Karel Albert Rudolf Bosscha sendiri adalah seorang Belanda yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat  pribumi  Hindia-Belanda pada masanya dan dia juga seorang pemerhati ilmu pendidikan khususnya Astronomi. Jujur saja info itu saya dapat dari Wikipedia. Seingat saya saat di sekolah dulu, saat pelajaran Sejarah, tidak penah membahas dia.

Minggu 27 November 2016, saya bersama Komunitas Aleut melakukan perjalanan ke Pangalengan untuk menyusuri jejak Bosscha sambil mengenang kematiannya yang jatuh pada tanggal 26 November 1928. dari Kedai Preanger yang ada di Buah Batu, kami menyusuri jalan kearah Pacet, melewati Keratsarie, lalu Cisanti dan kamipun tiba di Pangalengan.

Pohon di depan pabrik teh Kertasari

Pertama, kami mengunjungi makam Bosscha yang berada di antara perkebunan teh Malabar, di situ salah seorang teman bernama Rio bererita mengenai Bosscha dari buku Preanger Plantes, bentuk dari makam Bosscha sendiri hampir mirip dengan Observatoriumn yang berada di Lembang, dan di situ di antara perkebunan teh hanya ada makam Bosscha seorang, sebab dikisahkan Bosscha tidak pernah menikah saat masa hidupnya.


makam Bosscha
tugu Bosscha

kebun teh disekitar makam Bosscha

Dari makam  Bosscha kami lanjut ke sekolah yang ia dirikan, sekolah tersebut merupakan sekolah pribumi pertama masyarakat Hindia – Belanda, sekolah didirikan untuk mendidik para buruh teh agar kinerjanya semakin bagus dan juga bisa lebih menguntungkan.  Saat ini sekolah tersebut digunakan menjadi Sekolah Dasar II Malabar,  untuk bangunan yang didirikan dari awal bentuknya masih utuh dengan beberapa kali perbaikan , dan saat ini bangunan tersebut rencananya akan di buat menjadi sebuah museum.
tampak depan sekolah Bosscha

meja dan kursi yang menyatu, gaya kursi sekolah jaman dulu

salah satu foto yang ada di sekolah Bosscha


Jika dilihat sekilas, sekolah ini mirip dengan sekolah Laskar Pelangi yang ada di Belitung sana, saya jadi ingat dengan museum katanya Andrea Hirata, tapi masih jauh dari bayangan akan jadi museum seperti apa sekolah ini. Sekolah yang berada di antara perkebunan teh tak jauh dari makam Bosscha namun seperti jauh dari rumah penduduk, sebab tak terlihat rumah warga, mungkin sampai sekarang sekolah masih di gunakan untuk buruh teh yang berada di sekitar perkebunan.

menuju sekolah Bosscha

menuju rumah Bosscha

Dari sekolah Bosscha kami bergerak ke kediaman Bosscha, karna saat dari makam ke sekolah kami melewati jalan setapak, tidak berputar ke jalan utama yang dilalui aspal, maka saat dari sekolah ke rumah pun kami lanjutkan dengan melewati jalan setapak,perjalanan cukup menantang karna motor melewati jalanan pejalan kaki ditambah dengan suasanana yang sedikit becek, setibanya di rumah Bosscha seharusnya dengan membayar Rp. 5000 kami bisa masuk dan melihat suasana di dalam rumah Bosscha yang kental akan gaya colonial, namun saat kami  berkunjung, ruangan di dalam rumah sedang di gunakan oleh orang dari PTPN sehingga kami hanya bisa di luar saja.



di depan rumah Bossca

Jam makan siang sudah lewat, sejak di makam Bosscha perut sudah keroncongan, akhirnya kami makan juga di pertigaan gerbang perkebunan teh Malabar, usai makan, perjalanan dilanjutkan ke gunung Nini, saat ke rumah Bosscha tadi, kita akan melewati  gunung di perkebunan teh kemudian akan terlihat sebuah pendopo di puncaknya,  dan kemudian kesitulah tujuan kami berikutnya.

Pendopo persegi enam, diceritakan  merupakan tempat Bosscha mengasingkan dirinya dan mengamati perkebunan teh miliknya.  Perjalanan ke puncak gunung Nini juga ternyata tak semudah itu, karna di tengah tanjakan hujan lebat tiba-tiba datang tanpa memberi aba-aba seperti menurunkan gerimis terlebih dahulu. Karna hujan turun saat kami sedang berkonsentrasi melalui jalanan berlumpur, maka mau tak mau kami harus merasakan dinginnya air hujan.



Usai memakai jas hujan, kami melanjutkan perjalanan pendakian menggunakan sepeda motor, jalanan yang semula susah dilalui karna berlumpur, kini sudah menjadi genangan air, tak tau harus melewati jalan yang mana, berjalanan di rumput pun terasa licin, ada beberapa teman yang lebih memilih berjalan, tapi saya sebagai boncengers sejati, lebih memilih tetap berada di boncengan sebagai penyeimbang.

Saat di tengah jalan sebelum mencapai puncak, pemandangan indah mulai terlihat, di antara perkebunan teh, di bawah sana terlihat situ Cileunca. Akhirnya hujan reda dan kami tiba di puncak begitu pula dengan kabut, seolah tak mau kalah dengan kami, merekapun naik beramai-ramai. Setelah itu, putih semua terlihat putih tak ada lagi situ Cileunca dibawah sana, namun masih tetap indah J



jika kabut tidak ada, maka akan terlihat situ cileunca
pohon ini ada di dekat pendopo
Kami pun beristirahat di pendopo  sambil melakukan sharing berbagi pengalaman yang baru saja di lalui, kemudian rasa dingin pun mulai menghampiri karna angin mulai bertiup kencang. Usai sharing dan sedikit cerita tambahan dari Bang Ridwan, kamipun memutuskan untuk pulang.

Sekitar pukul 16.30 kami sudah menuruni  gunung Nini dan tidak sengaja bertemu dengan 2 orang Bapak, mereka menyarankan agar kami segera ke jalan utama karna ternyata disini rawan begal, di persimpangan gunung Nini kami pun bersepakat agar mengendarai motor saling beriringan, tidak membuat jarak terlalu jauh, agar terlihat ramai.

pendopo di gunung nini
salah satu tiang gunung nini
Jalur pulang kami masih sama dengan jalur pergi tadi, sampai di Cisanti, hari mulai gelap dan kabut semakin pekat , membatasi jarak pandang dan anginpun kian menggeliat, namun karna kami beramai-ramai merapat jalanan terlihat lebih terang. Tiba di Kertasari kami berkumpul lagi memastikan tidak ada rombongan yang terpisah, lengkap, lalu kamipun melanjutkan perjalanan, namun sayang motor salah seorang teman bernasib sial, ban depannya kempes.

Beberapa teman sudah ada di Cikembang, maka kamipun memutuskan untuk berkumpul di Cikembang terlebih dahulu sambil mencari tukang tambal ban, namun sayang tak ada tambal ban yang buka, karna semakin malam kami memutuskan untuk melanjutka perjalanan sambil mencari tambal ban, ada kira-kira 5 tempat tambal ban kami singgahi, namun tak ada yang buka,  rata-rata di daerah sini tempat tambal ban dan tempat tinggal terpisah, sehingga jika sudah malam tempat tambal ban kosong tak ada penghuni.

Namun akhirnya ada juga tambal ban yang mempunyai penghuni, sungguh mengagumkan, tukang tambal ban itu bisa melakukan pekerjaannya di tempat gelap tanpa cahaya, selang beberapa menit ban pun sehat kembali dan kami melanjutka perjalan pulang. Sekitar pukul 21.00 kami sudah tiba di Kedai Preanger kembali, semua kembali dengan utuh lalu kemudian beberapa teman kembali ke kediaman masing-masing.



tiba di kedai preanger dengan utuh :)

Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...