Untuk orang yang awam akan
sejarah, saya tidak pernah tau siapa itu Bosscha, yang saya tahu hanya Observatorium
Bosscha yang ada di daerah Lembang, Jawa Barat. Itu lho, tempat untuk mengamati
benda-benda luar angkasa, itupun saya tahu dari filem Petualangan Sherina yang
sempat hits saat saya kecil.
Semenjak bergabung dengan
Komunitas Aleut, saya jadi lebih tau mengenai sejarah yang ada di kota Bandung,
dari obrolan ringan di grup WhatsApp ada #CeritaAleut yang membahas sejarah di
kota Bandung, kemarin pernah membahas bangunan-bangunan bekas colonial. Yah
salah satunya adalah Observatorium Bosscha, bangunan peninggalan bangsa
Belanda.
Bosscha yang mempunyai nama
lengkap Karel Albert Rudolf Bosscha sendiri adalah seorang Belanda yang peduli
terhadap kesejahteraan masyarakat
pribumi Hindia-Belanda pada
masanya dan dia juga seorang pemerhati ilmu pendidikan khususnya Astronomi.
Jujur saja info itu saya dapat dari Wikipedia. Seingat saya saat di sekolah dulu, saat pelajaran Sejarah, tidak penah membahas dia.
Minggu 27 November 2016, saya
bersama Komunitas Aleut melakukan perjalanan ke Pangalengan untuk menyusuri
jejak Bosscha sambil mengenang kematiannya yang jatuh pada tanggal 26 November
1928. dari Kedai Preanger yang ada di Buah Batu, kami menyusuri jalan kearah
Pacet, melewati Keratsarie, lalu Cisanti dan kamipun tiba di Pangalengan.
![]() |
Pohon di depan pabrik teh Kertasari |
Pertama, kami mengunjungi makam
Bosscha yang berada di antara perkebunan teh Malabar, di situ salah seorang
teman bernama Rio bererita mengenai Bosscha dari buku Preanger Plantes, bentuk
dari makam Bosscha sendiri hampir mirip dengan Observatoriumn yang berada di
Lembang, dan di situ di antara perkebunan teh hanya ada makam Bosscha seorang, sebab dikisahkan Bosscha
tidak pernah menikah saat masa hidupnya.
![]() |
makam Bosscha |
![]() |
tugu Bosscha |
![]() |
kebun teh disekitar makam Bosscha |
Dari makam Bosscha kami lanjut ke sekolah yang ia
dirikan, sekolah tersebut merupakan sekolah pribumi pertama masyarakat Hindia –
Belanda, sekolah didirikan untuk mendidik para buruh teh agar kinerjanya semakin bagus dan juga bisa lebih
menguntungkan. Saat ini sekolah tersebut
digunakan menjadi Sekolah Dasar II Malabar,
untuk bangunan yang didirikan dari awal bentuknya masih utuh dengan
beberapa kali perbaikan , dan saat ini bangunan tersebut rencananya akan di
buat menjadi sebuah museum.
![]() |
tampak depan sekolah Bosscha |
![]() |
meja dan kursi yang menyatu, gaya kursi sekolah jaman dulu |
![]() |
salah satu foto yang ada di sekolah Bosscha |
Jika dilihat sekilas, sekolah ini
mirip dengan sekolah Laskar Pelangi yang ada di Belitung sana, saya jadi ingat
dengan museum katanya Andrea Hirata, tapi masih jauh dari bayangan akan jadi
museum seperti apa sekolah ini. Sekolah yang berada di antara perkebunan teh tak
jauh dari makam Bosscha namun seperti jauh dari rumah penduduk, sebab tak
terlihat rumah warga, mungkin sampai sekarang sekolah masih di gunakan untuk
buruh teh yang berada di sekitar perkebunan.
![]() |
menuju sekolah Bosscha |
![]() |
menuju rumah Bosscha |
Dari sekolah Bosscha kami
bergerak ke kediaman Bosscha, karna saat dari makam ke sekolah kami melewati
jalan setapak, tidak berputar ke jalan utama yang dilalui aspal, maka saat dari
sekolah ke rumah pun kami lanjutkan dengan melewati jalan setapak,perjalanan
cukup menantang karna motor melewati jalanan pejalan kaki ditambah dengan
suasanana yang sedikit becek, setibanya di rumah Bosscha seharusnya dengan
membayar Rp. 5000 kami bisa masuk dan melihat suasana di dalam rumah Bosscha
yang kental akan gaya colonial, namun saat kami
berkunjung, ruangan di dalam rumah sedang di gunakan oleh orang dari PTPN
sehingga kami hanya bisa di luar saja.
![]() |
di depan rumah Bossca |
Jam makan siang sudah lewat,
sejak di makam Bosscha perut sudah keroncongan, akhirnya kami makan juga di
pertigaan gerbang perkebunan teh Malabar, usai makan, perjalanan dilanjutkan ke
gunung Nini, saat ke rumah Bosscha tadi, kita akan melewati gunung di perkebunan teh kemudian akan
terlihat sebuah pendopo di puncaknya, dan
kemudian kesitulah tujuan kami berikutnya.
Pendopo persegi enam,
diceritakan merupakan tempat Bosscha
mengasingkan dirinya dan mengamati perkebunan teh miliknya. Perjalanan ke puncak gunung Nini juga ternyata
tak semudah itu, karna di tengah tanjakan hujan lebat tiba-tiba datang tanpa
memberi aba-aba seperti menurunkan gerimis terlebih dahulu. Karna hujan turun
saat kami sedang berkonsentrasi melalui jalanan berlumpur, maka mau tak mau kami harus
merasakan dinginnya air hujan.
Usai memakai jas hujan, kami
melanjutkan perjalanan pendakian menggunakan sepeda motor, jalanan yang semula
susah dilalui karna berlumpur, kini sudah menjadi genangan air, tak tau harus
melewati jalan yang mana, berjalanan di rumput pun terasa licin, ada beberapa
teman yang lebih memilih berjalan, tapi saya sebagai boncengers sejati, lebih
memilih tetap berada di boncengan sebagai penyeimbang.
Saat di tengah jalan sebelum
mencapai puncak, pemandangan indah mulai terlihat, di antara perkebunan teh, di
bawah sana terlihat situ Cileunca. Akhirnya hujan reda dan kami tiba di puncak
begitu pula dengan kabut, seolah tak mau kalah dengan kami, merekapun naik
beramai-ramai. Setelah itu, putih semua terlihat putih tak ada lagi situ Cileunca
dibawah sana, namun masih tetap indah J
![]() |
jika kabut tidak ada, maka akan terlihat situ cileunca |
![]() |
pohon ini ada di dekat pendopo |
Kami pun beristirahat di
pendopo sambil melakukan sharing berbagi
pengalaman yang baru saja di lalui, kemudian rasa dingin pun mulai menghampiri
karna angin mulai bertiup kencang. Usai sharing dan sedikit cerita tambahan dari
Bang Ridwan, kamipun memutuskan untuk pulang.
Sekitar pukul 16.30 kami sudah
menuruni gunung Nini dan tidak sengaja
bertemu dengan 2 orang Bapak, mereka menyarankan agar kami segera ke jalan
utama karna ternyata disini rawan begal, di persimpangan gunung Nini kami pun
bersepakat agar mengendarai motor saling beriringan, tidak membuat jarak
terlalu jauh, agar terlihat ramai.
![]() |
pendopo di gunung nini |
![]() |
salah satu tiang gunung nini |
Beberapa teman sudah ada di
Cikembang, maka kamipun memutuskan untuk berkumpul di Cikembang terlebih dahulu
sambil mencari tukang tambal ban, namun sayang tak ada tambal ban yang buka,
karna semakin malam kami memutuskan untuk melanjutka perjalanan sambil mencari
tambal ban, ada kira-kira 5 tempat tambal ban kami singgahi, namun tak ada yang
buka, rata-rata di daerah sini tempat
tambal ban dan tempat tinggal terpisah, sehingga jika sudah malam tempat tambal
ban kosong tak ada penghuni.
Namun akhirnya ada juga tambal
ban yang mempunyai penghuni, sungguh mengagumkan, tukang tambal ban itu bisa
melakukan pekerjaannya di tempat gelap tanpa cahaya, selang beberapa menit ban
pun sehat kembali dan kami melanjutka perjalan pulang. Sekitar pukul 21.00 kami
sudah tiba di Kedai Preanger kembali, semua kembali dengan utuh lalu kemudian
beberapa teman kembali ke kediaman masing-masing.
![]() |
tiba di kedai preanger dengan utuh :) |