Monday, July 10, 2017

Godaan Ramadhan beserta Cerita Mistis yang Terlewatkan

situ Kintjeh
Situ Aul, saat mengetikkan kata itu di mesin pencari google yang muncul adalah cerita mistis mengenai makhluk bertubuh manusia dan berkepala anjing menghadap terbalik. Cukup seram memang, entah itu benar atau tidak saya tidak terlalu memikirkan, yang pasti hari minggu kemarin 4 juni 2017 saya tetap ikut acara rutin Komunitas Aleut ke situ Aul.

Ngaleut kali ini telah memasuki hari ke-9 Ramadhan, peserta ngaleut hanya 6 motor dengan 11 peserta, maklum saat ngaleut alam biasanya akan menguras tenaga 2x lipat membuat orang yang berpuasa berpikir 2x pula untuk ikutan ngaleut.

Saya akan memulai cerita ini secara kronologis seperti biasa yang saya lakukan, yaitu perjalanan di mulai dari kedai preanger yang ada di JL Solontongan no. 20D sekitar pukul 08.00 WIB  kemudian bergerak kearah Buah Batu, lurus terus meyebrangi Soekarno-Hatta lalu seperti biasa setiap motor mengisi bahan bakar dulu di pom bensin Sekelimus di terusan Buah Batu, kemudian perjalanan dilanjutkan mengarah ke Pangalengan via Banjaran.

Setengah perjalanan, merupakan jalan yang tidak asing bagi saya, jalanan yang saya lewati saat susur pantai selatan part 1 dan perjalanan saat ke kampung adat Cikondang, yah jalan ini mengarah ke Pangalengan. Setengah perjalanan kami lumayan lancar, kecuali di PLTA Cikalong, ada pasar tumpah yang membuat angkot-angkot berkumpul , tapi setelah itu jalanan kembali lancar.

Bandung-Pangalengan menyajikan jalan yang  berkelak-kelok, banyak jurang juga hutan pinus, tapi setelah melihat perkebunan kopi di kanan jalan dan teh di kiri jalan, turunkan kecepatan kendraan, karna di kanan jalan ada perkebunan teh Kertamanah, dan kita masuk ke jalan itu.

tugu peringatan 100 tahun berdirinya perkebunan kina

Jika diperhatikan, jalan perkebunan sudah cukup bagus, terlihat baru di beton yang membuat perjalanan menjadi mudah, setelah perkebunan teh, kita akan menemukan perkampungan pertama yang di depannya ada sebuah lapangan yang terdapat sebuah tugu peringatan 100 tahun berdirinya perkebunan kina. Dulu kina sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit malaria, tapi karena sekarang medis sudah semakin canggih, jadilah kina tidak begitu laku. Dan kini perkebunan lebih di dominasi oleh kopi dan teh.

Rusa yang ada di penangkaran
Perjalanan di lanjutkan mengarah ke pabrik teh Kertamanah, sebelum sampai pabrik, tak jauh setelah pertigaan bisa terlihat pembangunan pemandian air panas, kelak yang akan menjadi tempat wisata bagi warga sekitar, dan di depannya  terlihat tempat penangkaran rusa. Kami berhenti sejenak untuk melihat-lihat, sembari bermain memberi makan rusa.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan, dengan patokan menuju ke Village Wayang Windu, setelah ketemu, kami mengambil jalan ke kanan, lalu masuk ke jalan sempit hingga bertemu ke sebuah danau/situ. Kata bang Ridwan di sisi danau ini ada makan, yang kata ibu penjual di Cipanas nama danau ini diambil dari nama salah satu anak pemilik kebun teh Kertamanah. Tapi entah benar atau tidak nama danau ini kintjeh/kinceuh atau kanceh. Kami mengelilingi sisi danau untuk membuktikan perkataan ibu penjual tersebut, namun sayang kami tidak menemui makam, entah memang tidak ada atau makamnya tersamarkan sesuatu sehingga kami tidak melihatnya.

menyusuri sisi situ Kintjeh
Air di situ kintjeuh sangat jernih, sungguh godaan yang dahsyat untuk dapat berenang, tapi ini sedang bulan Ramadhan, makruh hukumnya jika berendam. Dan akhirnya Akay menyeburkan dirinya, dia sungguh tidak tahan melihat air yang begitu jernih dan syegar. Ada beberapa anak-anak yang berenang sebelum Akay, melihat Akay asyik berenang, merekapun ikutan berenang lagi, padahal sudah pakai baju. Saya sendiri ikut merendam kaki dan membasuh wajah.

kejernihan situ Kintjeh
Setelah Akay selesai mandi, kami lanjut lagi meneruskan perjalanan, setelah keluar dari jalan sempit situ kintjeuh kami mengambil jalan ke kanan, sebenerya ini jalan coba-coba saja ketika melihat seorang ibu perkebunan yang sedang menunggu jemputan, kami menghampirinya dan menanyakan jalan, ibu-ibunya sungguh ramah .

Kami maju lurus terus dan setelah itu  mengambil jalan ke kanan lagi  yang jalannya bebatuan, walau jalan jelek namun memiliki pemandangan yang cukup aduhai, “bumi pasundan lahir ketika tuhan sedang tersenyum” tulisan itu harusnya di tulis disini sepanjang 1 km, bukan di kota sana, ujar salah seorang teman. Dan memang benar mungkin inilah wujud senyum tuhan itu.

Bu,i Pasundan lahir ketika tuhan sedang tersenyum :)
Kami lanjut lagi menanjak ke atas, di kiri jalan ada sebuah lahan yang cukup luas, ada seseorang yang sedang mencuci motornya di genangan air, bang Ridwan kembali menanyakan jalan ke orang itu, kemudian dia berjalan-jalan di lapangan luas itu di dekat pipa-pipa. Dari lapangan itu kami bisa melihat gumpalan asap yang cukup tebal dari Star Energy Geothermal Wayang Windu.

Mungkin karena keasyikan melihat gumpalan asap, tiba-tiba saja Tami dan motornya jatuh, Eko segera membantu namun sial, motornya juga ikutan terjatuh. Standartnya kurang pas menancap di jalan dan setelah itu tercium bau bensin, tapi syukurnya motor aman-aman saja. Dan kemudian kami langsung saja menuju ke bang Ridwan yang sedang asyik mengambil gambar.

Kemudian dia menyuruh kami memarkirkan motor, lokasi parkirnya lebih aman jika di atas saja, yaitu jalannya harus memutar pipa, namun sayang ternyata jalanan itu penuh air menjadikan tanah menjadi lembek dan menyulitkan motor lewat, dua motor telah terjebak di sana, Aip dan Tami, sementara yang lainnya mengambil jalan lain, namun untuk melewatinya harus merunduk agar tidak kena pipa yang cukup panas. Dan motor-motor pun berhasil di parkirkan dengan aman, namun kelihatannya Aip dan Tami masih kesulitan menyelamatkan motor mereka, nah disinilah kerja sama kelompok diperlukan.

menyelamatkan motor dari genangan lumpur
Setelah berhasil berurusan dengan lumpur, teman-teman membersihkan dirinya di genangan air di dekat pipa, entah dari mana sumber air itu, dan setelahnya kami mendaki, menuju ke kawah Gunung Wayang. Wahh sungguh tidak terduga sekali. Disini teman-teman yang berpuasa kembali di uji dengan rasa haus yang besar.  mendaki gunung dalam keadaan bepuasa !

Berdasarka informasi yang di dapat dari ibu-ibu perkebunan, jarak dari tempat kami memarkirkan motor ke kawah ada sekitar 500 meter, tapi tak ada yang percaya, jarak 500 meter warga lokal dengan kami pasti berbeda. Perlahan tapi pasti akhirnya kami tiba di kawah, padahal di tengah jalan sempat pengen nyerah karena melihat sumber asap yang masih jauh, tapi ternyata itu kabut, dan sempat juga ada warga yang bilang saat kami berpapasan dengannya “ngapain ke kawah, gak ada apa-apa di kawah mah” kami hanya tersenyum mendengar ucapan bapak itu.



mendaki Gunung Wayang
Saat tiba di kawah, sungguh menakjubkan, saya baru pertama ini ke kawah gunung dengan susah payah menanjak, sebelumnya pernah juga ke Cibuni saat ulang tahun aleut yang ke-11 tapi kawahnya tidak sebesar di sini, kalau kawah tangkuban perahu masuk hitungant gak yah ? dan yang pasti asap dari kawah gunung Wayang ini lebih banyak dan tentu saja kami menikmati keindahan ini gratis, bahkan saat pulang beberapa teman sempat mengambil batu belerang untuk di tumbuk di rumah.


kawah gunung Wayang
Kawah Gunung Wayang
Kami melanjutkan perjalanan lagi, melanjutkan jalan yang telah di tempuh, mengambil arah ke kiri dan naik terus keatas, hingga menemui sebuah gedung yang sepertinya milik Star Energi Gheotermal, di sebelahnya ada bale, seperti tempat berkumpulnya para bikers, ada musallah kecil dan toilet juga, dan dari bale itu  terlihat jalan yang kata AA’ yang kebetulan sedang berkumpul di bale adalah jalan menuju ke perkampungan. Dan kami memutar arah balik, kembali menuju jalan yang telah dilewati.

pemandangan di dekat bale bikers
Kini sudah tengah hari, sudah lewat waktu lohor dan hampir memasui ashar, rencananya sih kami mau beli makan untuk berbuka kemudian melanjutkan perjalanan, tapi yang sedang tidak berpuasa merasa lapar, jadilah rombongan terbagi dua, yang berpuasa pergi ke masjid untuk shalat, dan yang tidak puasa makan di sebuah warung di desa Margamukti yang letaknya tak jauh dari Wayang Windu Village dekat sebuah lapangan penjual es kelapa. 

Saat semua telah selesai dengan urusannya, hari mulai mendung, dan kami bersiap melanjutkan perjalanan dengan mengenakan jas hujan. Yang berpuasa sudah membeli makanan untuk berbuka sebagai bekal. Hujan mulai turun yang berpuasa di uji lagi dengan guyuran air hujan, harus hati-hati saat berbicara, jangan sampai air hujan masuk ke mulut.

Kami kembali mengambil jalan ke Village Wayang Windu, namun kali ini kami mengambil jalur ke kiri dan menuju ke sumur Geothermal dan akhirnya kami menemui jalan buntu, ternyata perjalanan di lanjutkan dengan berjalan kaki, saat itu telah hujan  semakin deras, teman-teman membawa bekalnya menuju ke situ Aul, jalanan merayap melewati ladang dan tak jelas mana jalan setapak yang harus di lewati.

Tapi kami sampai juga ke situ Aul dengan selamat, tak ada yang digigit ular atau sebagainya, namun sayang kini situ Aul sudah dipenuhi dengan rawa, pegiat aleut sudah pernah ke situ Aul, makan bekal di pinggir danau, namun sayang kegiatan seperti itu tidak dapat terulang.

Jadilah kami pulang dan mencari tempat berbuka, saat itu hujan telah reda dan muncul matahari, dan tentu saja pelangi ikut muncul. Saat kembali ke tempat motor, ada dua orang yang ingin bermalam di gunung Artapela. tebing di atas Situ Aul itu sebenarnya tebing Gunung Gambungsedaningsih. Bagian lerengnya itu Dataranjing, mungkin ini dataran atas gunung yang sekarang lebih dikenal sebagai Artapela.      
                 
Kemudian, kabut menemani perjalanan pulang kami, selagi ada kabut kami berhenti sebentar untuk mengambil gambar, kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Jalan pulang kami sama dengan jalur kedatangan hanya saja saat di desa Margamukti tempat kami membeli makan tadi sore, kami mengambil jalur kiri yang keluarnya adalah Jl Raya Pangalengan.
Lesehan bu Yanti di Tangek
Adzan magrib berkumandan, tapi kami masih di jalan, kami belum sampai di Tangek, tempat pemberhentian kami selanjutnya. Berhenti sebentar untuk membatalkan puasa kemudian lanjut lagi, dan hanya jalan beberapa meter kami telah tiba di lesehan bu Yanti. Kami makan malam bersama disana. sekedar saran, sebelum makan ada baiknya bertanya harga makanan satu porsinya berapa dahulu.

Asyiknya jalan bareng Komunitas Aleut tuh begini, kita enggak cuman fokus ke tujuan, tapi juga memperhatikan jalanan sekitar yang kita lewati, berinteraksi dengan warga, dan akhirnya bisa sampai ke  tempat yang gak terduga, jadi seperti dapet bonus dari perjalanan yang dilakukan.

Sebenernya dari tempat-tempat yang kami kunjungi tadi, rata-rata mempunyai cerita mistis masing-masing, seperti situ kintjeuh, saat di jalan terlihat petunjuk lalu-lintas yang berisi agar menghidupkan klakson, awalnya saya kira karena jalanan itu sebuah tikungan, namun dengar cerita, klakson itu dinyalakan untuk menghormati penghuni danau. Saat malam kwasan situ kintjeuh memang terkenal angker.

kemudian  mengenai kawah gunung Wayang, di situ juga menyimpan banyak cerita mistis, katanya saat malam hari terkadang suka terdengar suara gamelan. lain lagi dengan situ Aul, seperti yang aku ceritakan di atas, Aul itu merupakan makhluk bertubuh manusia dan berkepala anjing. Banyak cerita mistis mengenai sosok Aul ini.

Komunitas Aleut memang sebuah komunitas sejarah, mengulik cerita rakyat atau legenda-legenda adalah salah satu kegiatannya, tapi kegiatan Aleut bukan pemburu hantu seperti yang kebanyakn orang lain lakukan saat mengunjungi tempat keramat, tapi aleut lebih ke belajar, lebih mencari tahu kenapa tempat tersebut di kramatkan. Untuk orang yang penakut seperti saya, temapt-tempat yang berbau mistis itu jadi terlewatkan, karena bersama Aleut memang gak mengejar mistisnya, tapi ceritanya.

Dan rata-rata tempat yang telah di kunjungi, saya sangat suka dengan suasananya, indah dan mengagumkan.

 NB : untuk foto situ Aul, di Hp tidak ada karena hujan yang tidak memungkinkan untuk mengeluarkan Hp.


Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...