![]() |
situ Kintjeh |
Situ Aul, saat mengetikkan kata
itu di mesin pencari google yang muncul adalah cerita mistis mengenai makhluk
bertubuh manusia dan berkepala anjing menghadap terbalik. Cukup seram memang,
entah itu benar atau tidak saya tidak terlalu memikirkan, yang pasti hari
minggu kemarin 4 juni 2017 saya tetap ikut acara rutin Komunitas Aleut ke situ Aul.
Ngaleut kali ini telah memasuki
hari ke-9 Ramadhan, peserta ngaleut hanya 6 motor dengan 11 peserta, maklum
saat ngaleut alam biasanya akan menguras tenaga 2x lipat membuat orang yang
berpuasa berpikir 2x pula untuk ikutan ngaleut.
Saya akan memulai cerita ini
secara kronologis seperti biasa yang saya lakukan, yaitu perjalanan di mulai
dari kedai preanger yang ada di JL Solontongan no. 20D sekitar pukul 08.00
WIB kemudian bergerak kearah Buah Batu,
lurus terus meyebrangi Soekarno-Hatta lalu seperti biasa setiap motor mengisi bahan
bakar dulu di pom bensin Sekelimus di terusan Buah Batu, kemudian perjalanan
dilanjutkan mengarah ke Pangalengan via Banjaran.
Setengah perjalanan, merupakan
jalan yang tidak asing bagi saya, jalanan yang saya lewati saat susur pantai
selatan part 1 dan perjalanan saat ke kampung adat Cikondang, yah jalan ini
mengarah ke Pangalengan. Setengah perjalanan kami lumayan lancar, kecuali di
PLTA Cikalong, ada pasar tumpah yang membuat angkot-angkot berkumpul , tapi
setelah itu jalanan kembali lancar.
Bandung-Pangalengan menyajikan
jalan yang berkelak-kelok, banyak jurang
juga hutan pinus, tapi setelah melihat perkebunan kopi di kanan jalan dan teh
di kiri jalan, turunkan kecepatan kendraan, karna di kanan jalan ada perkebunan
teh Kertamanah, dan kita masuk ke jalan itu.
![]() |
tugu peringatan 100 tahun berdirinya perkebunan kina |
Jika diperhatikan, jalan perkebunan sudah cukup bagus, terlihat baru di beton yang membuat perjalanan menjadi mudah, setelah perkebunan teh, kita akan menemukan perkampungan pertama yang di depannya ada sebuah lapangan yang terdapat sebuah tugu peringatan 100 tahun berdirinya perkebunan kina. Dulu kina sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit malaria, tapi karena sekarang medis sudah semakin canggih, jadilah kina tidak begitu laku. Dan kini perkebunan lebih di dominasi oleh kopi dan teh.
![]() |
Rusa yang ada di penangkaran |
Perjalanan di lanjutkan mengarah
ke pabrik teh Kertamanah, sebelum sampai pabrik, tak jauh setelah pertigaan
bisa terlihat pembangunan pemandian air panas, kelak yang akan menjadi tempat
wisata bagi warga sekitar, dan di depannya terlihat tempat penangkaran rusa. Kami
berhenti sejenak untuk melihat-lihat, sembari bermain memberi makan rusa.
Kemudian kami melanjutkan
perjalanan, dengan patokan menuju ke Village Wayang Windu, setelah ketemu, kami
mengambil jalan ke kanan, lalu masuk ke jalan sempit hingga bertemu ke sebuah
danau/situ. Kata bang Ridwan di sisi danau ini ada makan, yang kata ibu penjual
di Cipanas nama danau ini diambil dari nama salah satu anak pemilik kebun teh
Kertamanah. Tapi entah benar atau tidak nama danau ini kintjeh/kinceuh atau
kanceh. Kami mengelilingi sisi danau untuk membuktikan perkataan ibu penjual
tersebut, namun sayang kami tidak menemui makam, entah memang tidak ada atau
makamnya tersamarkan sesuatu sehingga kami tidak melihatnya.
![]() |
menyusuri sisi situ Kintjeh |
Air di situ kintjeuh sangat
jernih, sungguh godaan yang dahsyat untuk dapat berenang, tapi ini sedang bulan
Ramadhan, makruh hukumnya jika berendam. Dan akhirnya Akay menyeburkan dirinya,
dia sungguh tidak tahan melihat air yang begitu jernih dan syegar. Ada beberapa
anak-anak yang berenang sebelum Akay, melihat Akay asyik berenang, merekapun
ikutan berenang lagi, padahal sudah pakai baju. Saya sendiri ikut merendam kaki
dan membasuh wajah.
![]() |
kejernihan situ Kintjeh |
Setelah Akay selesai mandi, kami
lanjut lagi meneruskan perjalanan, setelah keluar dari jalan sempit situ
kintjeuh kami mengambil jalan ke kanan, sebenerya ini jalan coba-coba saja
ketika melihat seorang ibu perkebunan yang sedang menunggu jemputan, kami
menghampirinya dan menanyakan jalan, ibu-ibunya sungguh ramah .
Kami maju lurus terus dan setelah
itu mengambil jalan ke kanan lagi yang jalannya bebatuan, walau jalan jelek
namun memiliki pemandangan yang cukup aduhai, “bumi pasundan lahir ketika tuhan
sedang tersenyum” tulisan itu harusnya di tulis disini sepanjang 1 km, bukan di
kota sana, ujar salah seorang teman. Dan memang benar mungkin inilah wujud
senyum tuhan itu.
![]() |
Bu,i Pasundan lahir ketika tuhan sedang tersenyum :) |
Kami lanjut lagi menanjak ke
atas, di kiri jalan ada sebuah lahan yang cukup luas, ada seseorang yang sedang
mencuci motornya di genangan air, bang Ridwan kembali menanyakan jalan ke orang
itu, kemudian dia berjalan-jalan di lapangan luas itu di dekat pipa-pipa. Dari
lapangan itu kami bisa melihat gumpalan asap yang cukup tebal dari Star Energy
Geothermal Wayang Windu.
Mungkin karena keasyikan melihat
gumpalan asap, tiba-tiba saja Tami dan motornya jatuh, Eko segera membantu
namun sial, motornya juga ikutan terjatuh. Standartnya kurang pas menancap di
jalan dan setelah itu tercium bau bensin, tapi syukurnya motor aman-aman saja.
Dan kemudian kami langsung saja menuju ke bang Ridwan yang sedang asyik
mengambil gambar.
Kemudian dia menyuruh kami
memarkirkan motor, lokasi parkirnya lebih aman jika di atas saja, yaitu
jalannya harus memutar pipa, namun sayang ternyata jalanan itu penuh air
menjadikan tanah menjadi lembek dan menyulitkan motor lewat, dua motor telah
terjebak di sana, Aip dan Tami, sementara yang lainnya mengambil jalan lain,
namun untuk melewatinya harus merunduk agar tidak kena pipa yang cukup panas.
Dan motor-motor pun berhasil di parkirkan dengan aman, namun kelihatannya Aip
dan Tami masih kesulitan menyelamatkan motor mereka, nah disinilah kerja sama
kelompok diperlukan.
![]() |
menyelamatkan motor dari genangan lumpur |
Setelah berhasil berurusan dengan
lumpur, teman-teman membersihkan dirinya di genangan air di dekat pipa, entah
dari mana sumber air itu, dan setelahnya kami mendaki, menuju ke kawah Gunung
Wayang. Wahh sungguh tidak terduga sekali. Disini teman-teman yang berpuasa
kembali di uji dengan rasa haus yang besar. mendaki gunung dalam keadaan bepuasa !
Berdasarka informasi yang di
dapat dari ibu-ibu perkebunan, jarak dari tempat kami memarkirkan motor ke
kawah ada sekitar 500 meter, tapi tak ada yang percaya, jarak 500 meter warga
lokal dengan kami pasti berbeda. Perlahan tapi pasti akhirnya kami tiba di
kawah, padahal di tengah jalan sempat pengen nyerah karena melihat sumber asap
yang masih jauh, tapi ternyata itu kabut, dan sempat juga ada warga yang bilang
saat kami berpapasan dengannya “ngapain ke kawah, gak ada apa-apa di kawah mah”
kami hanya tersenyum mendengar ucapan bapak itu.
![]() |
mendaki Gunung Wayang |
Saat tiba di kawah, sungguh
menakjubkan, saya baru pertama ini ke kawah gunung dengan susah payah menanjak,
sebelumnya pernah juga ke Cibuni saat ulang tahun aleut yang ke-11 tapi
kawahnya tidak sebesar di sini, kalau kawah tangkuban perahu masuk hitungant
gak yah ? dan yang pasti asap dari kawah gunung Wayang ini lebih banyak dan tentu
saja kami menikmati keindahan ini gratis, bahkan saat pulang beberapa teman
sempat mengambil batu belerang untuk di tumbuk di rumah.
![]() |
kawah gunung Wayang |
![]() |
Kawah Gunung Wayang |
Kami melanjutkan perjalanan lagi,
melanjutkan jalan yang telah di tempuh, mengambil arah ke kiri dan naik terus
keatas, hingga menemui sebuah gedung yang sepertinya milik Star Energi
Gheotermal, di sebelahnya ada bale, seperti tempat berkumpulnya para bikers,
ada musallah kecil dan toilet juga, dan dari bale itu terlihat jalan yang kata AA’ yang kebetulan
sedang berkumpul di bale adalah jalan menuju ke perkampungan. Dan kami memutar
arah balik, kembali menuju jalan yang telah dilewati.
![]() |
pemandangan di dekat bale bikers |
Kini sudah tengah hari, sudah
lewat waktu lohor dan hampir memasui ashar, rencananya sih kami mau beli makan
untuk berbuka kemudian melanjutkan perjalanan, tapi yang sedang tidak berpuasa
merasa lapar, jadilah rombongan terbagi dua, yang berpuasa pergi ke masjid
untuk shalat, dan yang tidak puasa makan di sebuah warung di desa Margamukti
yang letaknya tak jauh dari Wayang Windu Village dekat sebuah lapangan penjual
es kelapa.
Saat semua telah selesai dengan
urusannya, hari mulai mendung, dan kami bersiap melanjutkan perjalanan dengan
mengenakan jas hujan. Yang berpuasa sudah membeli makanan untuk berbuka sebagai
bekal. Hujan mulai turun yang berpuasa di uji lagi dengan guyuran air hujan,
harus hati-hati saat berbicara, jangan sampai air hujan masuk ke mulut.
Kami kembali mengambil jalan ke
Village Wayang Windu, namun kali ini kami mengambil jalur ke kiri dan menuju ke
sumur Geothermal dan akhirnya kami menemui jalan buntu, ternyata perjalanan di
lanjutkan dengan berjalan kaki, saat itu telah hujan semakin deras, teman-teman membawa bekalnya
menuju ke situ Aul, jalanan merayap melewati ladang dan tak jelas mana jalan
setapak yang harus di lewati.
Tapi kami sampai juga ke situ Aul
dengan selamat, tak ada yang digigit ular atau sebagainya, namun sayang kini
situ Aul sudah dipenuhi dengan rawa, pegiat aleut sudah pernah ke situ Aul,
makan bekal di pinggir danau, namun sayang kegiatan seperti itu tidak dapat
terulang.
Jadilah kami pulang dan mencari
tempat berbuka, saat itu hujan telah reda dan muncul matahari, dan tentu saja
pelangi ikut muncul. Saat kembali ke tempat motor, ada dua orang yang ingin
bermalam di gunung Artapela. tebing di atas Situ Aul itu sebenarnya tebing
Gunung Gambungsedaningsih. Bagian lerengnya itu Dataranjing, mungkin ini
dataran atas gunung yang sekarang lebih dikenal sebagai Artapela.
Kemudian, kabut menemani
perjalanan pulang kami, selagi ada kabut kami berhenti sebentar untuk mengambil
gambar, kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Jalan pulang kami sama dengan
jalur kedatangan hanya saja saat di desa Margamukti tempat kami membeli makan
tadi sore, kami mengambil jalur kiri yang keluarnya adalah Jl Raya Pangalengan.
![]() |
Lesehan bu Yanti di Tangek |
Adzan magrib berkumandan, tapi
kami masih di jalan, kami belum sampai di Tangek, tempat pemberhentian kami
selanjutnya. Berhenti sebentar untuk membatalkan puasa kemudian lanjut lagi,
dan hanya jalan beberapa meter kami telah tiba di lesehan bu Yanti. Kami makan
malam bersama disana. sekedar saran, sebelum makan ada baiknya bertanya harga makanan satu porsinya berapa dahulu.
Asyiknya jalan bareng Komunitas
Aleut tuh begini, kita enggak cuman fokus ke tujuan, tapi juga memperhatikan
jalanan sekitar yang kita lewati, berinteraksi dengan warga, dan akhirnya bisa
sampai ke tempat yang gak terduga, jadi
seperti dapet bonus dari perjalanan yang dilakukan.
Sebenernya dari tempat-tempat
yang kami kunjungi tadi, rata-rata mempunyai cerita mistis masing-masing,
seperti situ kintjeuh, saat di jalan terlihat petunjuk lalu-lintas yang berisi
agar menghidupkan klakson, awalnya saya kira karena jalanan itu sebuah
tikungan, namun dengar cerita, klakson itu dinyalakan untuk menghormati
penghuni danau. Saat malam kwasan situ kintjeuh memang terkenal angker.
kemudian mengenai kawah gunung Wayang, di situ juga
menyimpan banyak cerita mistis, katanya saat malam hari terkadang suka
terdengar suara gamelan. lain lagi dengan situ Aul, seperti yang aku ceritakan
di atas, Aul itu merupakan makhluk bertubuh manusia dan berkepala anjing. Banyak
cerita mistis mengenai sosok Aul ini.
Komunitas Aleut memang sebuah
komunitas sejarah, mengulik cerita rakyat atau legenda-legenda adalah salah
satu kegiatannya, tapi kegiatan Aleut bukan pemburu hantu seperti yang
kebanyakn orang lain lakukan saat mengunjungi tempat keramat, tapi aleut lebih
ke belajar, lebih mencari tahu kenapa tempat tersebut di kramatkan. Untuk orang
yang penakut seperti saya, temapt-tempat yang berbau mistis itu jadi
terlewatkan, karena bersama Aleut memang gak mengejar mistisnya, tapi ceritanya.
Dan rata-rata tempat yang telah
di kunjungi, saya sangat suka dengan suasananya, indah dan mengagumkan.