![]() |
Setelah
selesai membaca buku yang berjudul Gadis Pantai karangan Pramoedya Ananta Toer
aku langsung melihat diriku yang juga merupakan seorang gadis. Bagaimanakah
nasibku jika aku menjadi gadis di era kekuasaan kolonial Belanda. Berada dalam
masa jajahan Belanda. Aku yang juga gadis kampung tak cantik-cantik amat,
mungkin menghabiskan waktu dengan bekerja keras dan sedikit makan. Berumur
empat belas tahun langsung dinikahkan orang tua ku agar aku tak perlu bekerja
keras. Tak terbayang olehku, dengan wajahku yang pas-pasan paling juga mendapat
lelaki kampung yang bekerja keras dan sedikit makan.
Gadis Pantai berlatar waktu akhir abad sembilan belas menuju abad dua puluh, sekitar tahun 1900 saat jalan Raya Pos telah selesai di bangun oleh Daendels, jalan
yang membentang hampir 1.000 km dari Anyer ke Panurukan. Jalan yang panjang dan
memakan banyak korban jiwa.
Disebutkan untuk menuju kampung Gadis Pantai terdapat jarak lebih dari 3 pal dari jalan pos, tak bisa dilalui dokar
karena jalan yang berlumpur dan kemudian berganti menjadi jalan setapak. Sebelum masuk
ke jalan kampung akan ditemui 3 pohon jati. 3 pohon
itu di tanam untuk memperingati matinya bayi-bayi kampung. Saat orang kampung dipaksa membuat jalan, perempuan memikul
tanah, dan laki-laki menebang pohon. Sementara para bayi tinggal di rumah dan
menangis kelaparan hingga akhirnya mati menjadi tulang. Saat pekerjaan membuat
jalan selesai pun tak semua warga pulang ke kampungnya, tak semua bisa bertahan.
Diceritakan
pula, saat massa Gadis Pantai sekarang sudah lumayan. Masa lalu, tentu
saja ceritanya saat Indonesia masih di bawah naungan VOC keadaan lebih parah, yaitu saat terjadinya kerja
paksa. Mbok yang mengurus Gadis Pantai adalah seorang janda, anak yang
dikandungnya dan juga suaminya mati saat menjalankan kerja rodi di kebun
coklat.
VOC
dibubarkan, Deandels menggantikan, kehidupan warga kampung tak ada berubahnya,
warga masih memakan beras setahun sekali dan memakan jagung sehari-hari. Hanya kehidupan
para priyayi yang masih seenaknya. Mengambil gadis dari kampung, mengurungnya
di dalam rumah, mengunjungi dikala suka dan menceraikannya saat sudah
melahirkan.
Setidaknya
itulah yang dialami Gadis Pantai. 3 tahun berada didalam perintah dan
memerintah. Walau dia menjadi wanita utama, tapi apa gunanya bila hidup dalam
ketakutan.
2
tahun pernikahan barulah gadis pantai memberanikan diri mita ijin untuk pulang kampung nelayan menemui orang tuanya. Saat ia pulang, kampungnya tak ada yang berubah, tapi
orang-orangnya berubah, bahkan orang tuanya pun sama, merendahkan diri padanya karena ia istri seorang Bendoro. Juga mungkin karena penampilannya yang telah berubah, semakin cantik dan
menggenakan emas. Orang-orang pun jadi segan padanya.
Kemudian
muncul tokoh Mardinah dan Mardikun kemenakan jauh Bendoro dari Demak. Kemunculan kedua
tokoh ini sebenarnya kurang jelas konteksnya, tapi cukup membuat konflik dan seperti
mencapai klimaks roman. Hanya di ceritakan Mardinah di utus oleh Bendoro dari
Demak untuk membuat Bendoro (suami Gadis Pantai) menikah dengan putri Bendoro Demak. dan Mardikum di ceritakan kakak dari Mardinah yang menjadi mata-mata, aku kurang paham tujuan mematainya apa.
Kemudian
ada pula dua tokoh warga kampung nelayan yang menonjol, yaitu Kakek tertua kampong
dan si Dul Pendongeng. Kakek pengetua orang yang dihormati di kampung,
keputusannya dihormati warga. Pesan yang paling disampaikannya adalah emas
ataupun mutiara bisa menyebabkan kehancuran dan si Dul Pendongeng walau
dianggap gila oleh warga karena malas melaut dan kerjanya hanya mendongeng. Tapi
dongengannya sebenarnya enak didengar dan pesan yang disampaikan juga ada
benarnya.
Yang
bisa diambil pelajaran dari novel ini, yaitu pengalaman akan mengajarkan kita
segalanya. Gadis Pantai setelah dia dicerai dan tidak diperkenankan membawa
anaknya, dia lebih memilih berkelana mencari pengalaman daripada pulang ke kampung
dengan keadaan menyedihkan.
Sebenernya
katanya novel ini ada kelanjutannya, salah satu dari trilogi novel Pram. Tapi karena naskahnya sudah berada di
antah barantah maka hanya tinggal Gadis Pantai. Walau ceritanya fiksi tapi
cerita ini berdasarkan kisah hidup nenek dari Ibu si Penulis. Jadi cerita
mengenai kerja rodi dan kehidupan Priyayi/Bendoro itu pasti benar, hanya saja ada
cerita tambahannya.
Selesai
membaca novel ini aku sedih dan merasa haru.
Gak
kebayang deh habis ngelahirin, anaknya hanya di gendong seorang diri, suami tak
mau menggendong apalagi mengurus. Ingin rasanya aku teriakkan, sudah bawa saja
ankmu diam-diam tak perlu beri tahu Bendoro. Hingga akhirnya anakmu tak bisa
kau bawa malah dituduh pencuri. Sungguh menyedihkan L
Tapi
kalau kau bawa anakmu, sebenernya susah juga sih kan kau sudah di cerai. Darimana kau
bisa menghidupinya. Yaudah biarlah dia tinggal di gedung, akan banyak pelayan yang mengurusnya, dan anggap saja dirimu
masih gadis.