Sunday, January 21, 2018

Gadis Pantai


Setelah selesai membaca buku yang berjudul Gadis Pantai karangan Pramoedya Ananta Toer aku langsung melihat diriku yang juga merupakan seorang gadis. Bagaimanakah nasibku jika aku menjadi gadis di era kekuasaan kolonial Belanda. Berada dalam masa jajahan Belanda. Aku yang juga gadis kampung tak cantik-cantik amat, mungkin menghabiskan waktu dengan bekerja keras dan sedikit makan. Berumur empat belas tahun langsung dinikahkan orang tua ku agar aku tak perlu bekerja keras. Tak terbayang olehku, dengan wajahku yang pas-pasan paling juga mendapat lelaki kampung yang bekerja keras dan sedikit makan.

Gadis Pantai berlatar waktu akhir abad sembilan belas menuju abad dua puluh, sekitar tahun 1900 saat jalan Raya Pos telah selesai di bangun oleh Daendels, jalan yang membentang hampir 1.000 km dari Anyer ke Panurukan. Jalan yang panjang dan memakan banyak korban jiwa.

Disebutkan  untuk menuju kampung Gadis Pantai terdapat jarak lebih dari 3 pal dari jalan pos, tak bisa dilalui dokar karena jalan yang berlumpur dan kemudian berganti menjadi jalan setapak. Sebelum masuk ke jalan kampung akan ditemui 3 pohon jati. 3 pohon itu di tanam untuk memperingati matinya bayi-bayi kampung. Saat orang kampung dipaksa membuat jalan, perempuan memikul tanah, dan laki-laki menebang pohon. Sementara para bayi tinggal di rumah dan menangis kelaparan hingga akhirnya mati menjadi tulang. Saat pekerjaan membuat jalan selesai pun tak semua warga pulang ke kampungnya, tak semua bisa  bertahan.

Diceritakan pula, saat massa Gadis Pantai sekarang sudah lumayan. Masa lalu, tentu saja ceritanya saat Indonesia masih di bawah naungan VOC keadaan lebih parah, yaitu saat terjadinya kerja paksa. Mbok yang mengurus Gadis Pantai adalah seorang janda, anak yang dikandungnya dan juga suaminya mati saat menjalankan kerja rodi di kebun coklat.

VOC dibubarkan, Deandels menggantikan, kehidupan warga kampung tak ada berubahnya, warga masih memakan beras setahun sekali dan memakan jagung sehari-hari. Hanya kehidupan para priyayi yang masih seenaknya. Mengambil gadis dari kampung, mengurungnya di dalam rumah, mengunjungi dikala suka dan menceraikannya saat sudah melahirkan.

Setidaknya itulah yang dialami Gadis Pantai. 3 tahun berada didalam perintah dan memerintah. Walau dia menjadi wanita utama, tapi apa gunanya bila hidup dalam ketakutan.

2 tahun pernikahan barulah gadis pantai memberanikan diri mita ijin untuk pulang kampung nelayan menemui orang tuanya. Saat ia pulang, kampungnya tak ada yang berubah, tapi orang-orangnya berubah, bahkan orang tuanya pun sama, merendahkan diri padanya karena ia istri seorang Bendoro. Juga mungkin karena penampilannya yang telah berubah, semakin cantik dan menggenakan emas. Orang-orang pun jadi segan padanya.

Kemudian muncul tokoh Mardinah dan Mardikun kemenakan jauh Bendoro dari Demak. Kemunculan kedua tokoh ini sebenarnya kurang jelas konteksnya, tapi cukup membuat konflik dan seperti mencapai klimaks roman. Hanya di ceritakan Mardinah di utus oleh Bendoro dari Demak  untuk membuat Bendoro (suami Gadis Pantai) menikah dengan putri Bendoro Demak. dan Mardikum di ceritakan kakak dari Mardinah yang menjadi mata-mata, aku kurang paham tujuan mematainya apa.

Kemudian ada pula dua tokoh warga kampung nelayan yang menonjol, yaitu Kakek tertua kampong dan si Dul Pendongeng. Kakek pengetua orang yang dihormati di kampung, keputusannya dihormati warga. Pesan yang paling disampaikannya adalah emas ataupun mutiara bisa menyebabkan kehancuran dan si Dul Pendongeng walau dianggap gila oleh warga karena malas melaut dan kerjanya hanya mendongeng. Tapi dongengannya sebenarnya enak didengar dan pesan yang disampaikan juga ada benarnya.

Yang bisa diambil pelajaran dari novel ini, yaitu pengalaman akan mengajarkan kita segalanya. Gadis Pantai setelah dia dicerai dan tidak diperkenankan membawa anaknya, dia lebih memilih berkelana mencari pengalaman daripada pulang ke kampung dengan keadaan menyedihkan.

Sebenernya katanya novel ini ada kelanjutannya, salah satu dari trilogi novel Pram. Tapi karena naskahnya sudah berada di antah barantah maka hanya tinggal Gadis Pantai. Walau ceritanya fiksi tapi cerita ini berdasarkan kisah hidup nenek dari Ibu si Penulis. Jadi cerita mengenai kerja rodi dan kehidupan Priyayi/Bendoro itu pasti benar, hanya saja ada cerita tambahannya.

Selesai membaca novel ini aku sedih dan merasa haru.
Gak kebayang deh habis ngelahirin, anaknya hanya di gendong seorang diri, suami tak mau menggendong apalagi mengurus. Ingin rasanya aku teriakkan, sudah bawa saja ankmu diam-diam tak perlu beri tahu Bendoro. Hingga akhirnya anakmu tak bisa kau bawa malah dituduh pencuri. Sungguh menyedihkan L

Tapi kalau kau bawa anakmu, sebenernya susah juga sih kan kau sudah di cerai. Darimana kau bisa menghidupinya. Yaudah biarlah dia tinggal di gedung, akan banyak pelayan yang mengurusnya, dan anggap saja dirimu masih gadis.



Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...