Thursday, January 12, 2017

dapat telepon mencurigakan ? hati-hati penipuan !


  • Jika anda mendapat telpon dan yang menelepon tidak menyebutkan siapa namanya, berhati-hatilah mungkin itu adalah penipuan.
  • Jika si penelepon menyuruh anda untuk menebak siapa dirinya, sebutkanlah nama asal yang tidak anda kenal. Lalu ikutilah jalur cerita si penelpon. 
  • Jika nama yang kita tebak mengaku ditangkap polisi kemudian anda berbicara dengan polisi, jangan percaya kalau itu adalah polisi sungguhan, itu merupakan penipuan dengan modus keluarga kita menjadi korban penangkapan polisi.
  • jika si penelpon mita agar diberikan transferan dan berjanji akan mengembalikan jangan cepat percaya.
  • Jika anda mendapat telpon dan menyuruh ke ATM, hati-hati mungkin itu adalah penipuan.
  • Dan jika si penelpon tidak mau mematikan telponya, dan mau menunggu anda hingga tiba di ATM maka sudah pasti itu adalah penipuan.


Ini pengalaman pribadi saya. Saat Akhir tahun 2016

akhir tahun Kali ini aku mendapat kunjungan dari teman SMA yang melanjutkan studinya di salah satu universitas di Cimahi, ia lumayan sering main ke kos ku, kali ini dia datang bersama teman kuliahnya.

Rencananya aku akan menemani dia merayakan pergantian tahun bersama kembang api yang ada di alun-alun Bandung. Dia mengatakan ingin sekali merayakan tahun baru di Bandung, karna bisa jadi tahun depan dia sudah tidak di Bandung lagi.

Sebenarnya, sebelum ke alun-alun kami ingin makan malam terlebih dulu, tapi saat kami ingin mencari makan, tiba-tiba temannya temanku sebut saja namanya si B dia mendapat telpon. Lama dia ngobrol dan mengaku-ngaku sebagai istri dia minta antar ke counter pulsa atau ATM, tampaknya dia buru-buru, sebenarnya aku sedikit sebel, kan kami ingin makan malam, kenapa dia jadi sibuk sendiri.

Si B minta supaya kami lebih cepat, awalnya aku ingin mengantar ke counter pulsa tapi karna dia terburu-buru dia minta antar ke ATM saja, saat aku tanya sebenernya ada apa ? kenapa dia terburu-buru minta pulsa nominal Rp. 400.00 tapi si B menjawab “iya nanti aku ceritaiin “ sambil menunjukkan Hp nya yang masih terhubung dengan yang menelepon. Sejauh obrolannya yang ku tahu dia sedang berbicara dengan temannya yang sering dia sebut mas Kris.

Sebenarnya  yang kutau si B ini tidak punya uang untuk mentransfer pulsa itu, awalnya dia meminta pinjaman padaku, tapi aku tak kasih,memangnya dia siapa baru kenal sudah pinjam uang sebanyak itu,  akhirnya dia meminjamnya pada temanku.

Tiba di ATM aku biarkan si B dan temanku melakukan transaksi, aku menunggu diluar, 5 menit berlalu, tak kunjung selesai, aku mulai gelisah, memangnya mereka ngapain ajasih di dalam ? aku curiga temanku telah di tipu oleh si B karna temanku terlihat menurut saja saat memasukkan PIN nya.

Kemudian mereka pindah ATM sebelah, dari ATM BRI mereka ke BNI, keluar dari BNI mereka masuk lagi ke BRI tapi sebelum masuk BRI temenku kucegat, memangnya ngapaiin sih ? kenapa lama banget dan sampai pindah ATM segala, dan temankupun bercerita kalau duitnya sudah habis samapi 4jt. APA ? aku syook, dan aku menasehati sudah, jangan kasih pinjam lagi, karna itu uang kuliahnya, dan kemudian temanku masuk lagi ke BRI.

Aku jadi semakin gelisah, fikiranku masih mengira temenku ditipu oleh temannya, dan aku gak bisa nghentiinnya ? akhirnya aku mencoba masuk ATM ingin tahu sebenernya mereka sedang transaksi apa ? tapi ternyata aku dicegah si B katanya nanti dulu-nanti dulu sambil tangannya menghalangi pintu, lalu aku menelpon temanku yang ada di dalam ATM agar dia jangan memberikan uangnya lagi.

Pengguna mesin ATM bukan mereka saja, sudah ada beberapa orang yang mengantri, beberapa kali aku mencoba masuk dan bilang agar jangan terlalu lama, karna sudah banyak antrian, akhirnya mereka keluar dari ATM dan temanku mengadu kalau duitnya telah habis 10jt.

Bhukan main 10jt, duit lho itu,bukan cuman angka, tiba di kos aku mengelus punggung temanku dan meyakinkan  kalau dia sedang ditipu temannya, tapi temanku percaya dengan si B kemudian  langsung saja si B ku introgasi, sebenernya yang nelpon itu siapa ? si mas kris itu siapa ? dia hanya menjawab si mas Kris itu teman baiknya, mereka biasa saling membantu.

Kemudian  si B menenangkan temanku kalau duitnya pasti diganti karna saat itu kendalanya si mas Kris hanya tidak bisa keluar mengambil duit karna sedang di tahan polisi, lepas dari kantor polisi mas Kris akan mengganti duit temanku, begitu katanya.

Polisi ? minta transfer pulsa? Habis sampai 10jt ? ini bukannya penipuan ? memangnya ada polisi jaman sekarang dibayar pakai pulsa ?
Aku bertanya lagi, mas Kris itu siapa ? kalaupun dia ditangkep polisi yang harus dihubungi itu keluarganya bukan si B ini, tapi tampaknya si B ini percaya saja dengan si Kris dan yakin duitnya akan di kembalikan cash, hingga saat dia mencoba menghubungi Kris dan tidak bisa, baru dia terlihat berfikir.

Berkali-kali si B menghubungi si Kris itu, tapi tidak bisa juga, akhirnya temanku meyakinkan si B kalau dia telah ditipu, tak tahu harus berbuat apa, aku mengusulkan untuk melapor polisi saja. Akhirnya kami ke kantor polisi dan merayakan pergantian tahun disana.

Ada sedikit harapan agar no Rek si penipu di blokir oleh Bank dan masuk blacklist sehingga akan sulit bagi dia untuk membuka rekening baru, juga ada sedikit harapan agar duit yang ada di Rek si penipu bisa diambil, yah walau prosesnya bisa menjadi ribet.

Yah biasanya si penipu akan menghubungi korbannya di malam hari atau saat weekend, bukan saat jam kerja, itu agar kita tidak bisa segera menghubungi pihak Bank.

aku merasa bersalah karna telah suudzon pada si B terlebih dia juga tidak menceritakan detail ceritanya seperti apa, tapi itulah kenyatannya walau dia yang kena tipu pada saat itu tapi temanku lah yang telah dirugikan.
yah bagaimanapun kita berteman baik dengan sesama, kalau masalah uang mah jangan cepat percaya. 

Thursday, January 5, 2017

Anak Ayam Wak Dammak dan Aneka Musim di Rantauprapat



Aku lahir dan besar di kota Rantauprapat Kab. Labuhanbatu, sebuah kabupaten di propinsi Sumatera Utara. Dulu waktu kecil, aku mengalami beberapa musim di luar musim kemarau dan hujan.

Aku dan duniaku, maksudku dengan teman-temanku, kami punya musim sendiri. Namun datangnya musim ini tidak tentu, entah berdasarkan apa dia datang, tapi biasanya dia datang karena pergerakan pasar dan tren. Ya, musim yang kumaksud adalah permainan. Karena kami melakukan permainan itu hanya jika sedang datang musimnya saja.

Permainan yang datangnya musiman itu adalah seperti guli atau lebih sering disebut kelereng, permainan kasti, bulu tangkis, layangan, sepeda, binder, dan permainan lainnya.

Dalam dunia kami, di dalam satu musim tak melulu hanya musim (permainan) itu terus yang ada, kadang juga bisa diselingi oleh permainan yang lain, atau kami suka menggabungkan permainan agar terasa berbeda, maklum anak-anak cepat merasa bosan. Tapi yang pasti permainan tersebut di atas yang lebih mendominasi.

Bila musim kelereng tiba, akan banyak kelompok-kelompok yang bermain di tanah mengasah ketepatan menembak. Jika siang telah tiba, terkadang ibu-ibu suka mengomel kalau anaknya masih asyik panas-panasan main kelereng di halaman. Agar tetap bisa bermain kelereng saat panas sedang menyengat atau malam hari, kami biasanya pindah ke dalam rumah untuk main terka kelereng, bermain kartu atau gambaran, dan taruhannya adalah kelereng (ini sebenernya adalah permainan judi, tidak patut untuk dicontoh )

Dulu, aku suka mengumpulkan kelereng di botol bekas air mineral. Kalau sudah banyak aku menjualnya ke teman-teman, namun terkadang aku juga bisa mengalami masa bangkrut, dan giliranku yang membeli ke teman. Hal yang menjengkelkan adalah saat kelerengku sudah banyak, eh musimnya telah berakhir, terpaksa kelereng disimpan sebagai investasi menunggu musim kelereng berikutnya.

Di waktu lain, saat musim sepeda tiba, teman-teman yang punya sepeda sering berkumpul di lapangan bulu tangkis di belakang rumahku. Setelah itu kami akan mengayuh sepeda ke gang sebelah yaitu ke Jalan Perisai. Medan yang kami lewati untuk sampai ke Jalan Perisai bukanlah jalan yang mulus. Kami mesti lewat belakang, melalui kamar potong atau tempat penyembelihan kerbau, juga melewati kuburan Cina dengan jalan bebatuannya yang tajam. Tapi jalan ini lebih aman jika dibanding harus melalui jalan beraspal di jalan raya.

Di Jalan Perisai, ada sebuah komplek perumahan yang di belakangnya terdapat lapangan yang medannya cukup menantang. Tempat yang kami tuju bukan lapangan biasa, tapi  lapangan tanah merah yang mempunyai gundukan-gundukan tanah yang cukup besar. Dengan kondisi tanah seperti itu, maka akan membawa kami seolah berperan sebagai pembalap cross, dan bermain sepeda jadi terasa sangat seru karena terasa terbang sambil naik sepeda karena gundukan tanahnya.

Awal-awal musim sepeda, aku belum punya sepeda. Biasanya yang tidak punya sepeda nebeng kepada teman, dibonceng belakang dan berdiri. Di pergaulan kami, yang sepedanya punya boncengan duduk di belakang itu tidak keren, kalau mau duduk di setang sekalian. Kadang, karena jalan bebatuan dan terjal, pengendara sepeda kesulit untuk membawa boncengan. Jika hal tersebut terjadi, maka yang menebeng dipersilahkan berjalan untuk mengurangi beban. Di lapangan—karena tak punya sepeda, seringnya aku hanya melihat teman yang asyik terbang dengan sepedanya.

Karena tak mau menyusahkan orang terus dengan menebeng, dan tak enak karena mengurangi kebahagiaan teman dengan meminjam sepedanya, maka aku merengek pada ibu minta dibelikan sepeda. Saat itu aku masih kelas 5 SD, dan ibuku mungkin berpikir kalau keinginanku ini hanya sesaat, karena sebentar lagi aku akan SMP dan akan jarang bermain sepeda, lagi pula ukuran sepeda untukku juga tanggung: bukan sepeda anak kecil, juga bukan sepeda orang dewasa.

Entah berapa lama aku meminta untuk dibelikan sepeda, aku tidak ingat, namun yang pasti aku sempat mengajukan protes dengan mogok makan: tidak sarapan, tidak makan siang, tidak makan malam, namun mengambil uang ibuku tanpa sepengetahuannya untuk bisa jajan.

Dulu aku memang anak yang susah makan. Ibuku selalu membelikan vitamin agar nafsu makanku bertambah. Beliau juga kerap memberikan lauk yang enak, sayur, dan buah-buahan, namun nafsu makanku tidak beranjak baik. Aku berjanji pada ibu, kalau aku dibelikan sepeda, aku tidak akan males makan lagi. Setelah meyakinkan ibu terus-menerus, aku akhirnya mendapatkan sepeda. Janjiku pada ibu ternyata lebih mujarab daripada aksi protes yang kulakukan.

Sepedaku berwarna pink, bannya putih. Ban itu adalah ban motor, jadi tidak bisa dipompa dengan pompa manual, melainkan harus dengan angin buat motor yang biasa ada di tambal ban. Kayuhannya ringan, rantainya juga tidak pernah lolos, tidak seperti punya temanku yang sering aku tebengin. Sepedaku tidak seratus persen baru, ibuku membelinya dari si Yani anak wak Ros: dia sudah besar, jadi sudah tidak mau lagi naik sepeda, meskipun sebetulnya hanya beda setahun denganku.

Seperti musim kelereng, saat  kelereng telah banyak kukumpulkan namun kemudian tak ada lagi yang memainkan, begitu pula dengan sepeda. Selang beberapa minggu sejak aku punya sepeda, orang-orang sudah malas bermain sepeda lagi. Tapi karena aku masih girang punya sepeda baru, jadi tak masalah jika aku main sepeda sendirian.

Suatu hari kejadian naas menimpaku. saat itu tengah hari saat aku telah pulang sekolah sekitar pukul 14.00 WIB, ketika aku bersepeda dan melewati jalan tempat aku belajar sepeda dulu—yaitu melewati sebuah turunan, saking asyiknya melewati turunan tersebut, aku tak sadar seperti menabrak sesuatu. Aku terus saja lewat, namun tiba-tiba si Obi yang rumahnya di depan turunan itu berteriak, “Ala bayaaak… anak ayam wak Dammak!” Ternyata aku baru saja melanggar anak ayam.

Mengetahui hal tersebut aku tentu saja kaget. Aku berputar ke arah belakang rumah si Obi dan langsung pulang, sekilas kulihat orang-orang ramai mengerubungi anak ayam yang kulanggar itu. Seharian itu aku di rumah saja, tak berani keluar. Selang beberapa hari baru aku berani keluar, ternyata Obi melihat semuanya, dan wak Dammak tahu bahwa aku adalah pelaku “pembunuhan” anak ayamnya. Aku tak berani lihat wak Dammak, kalau melihatnya aku langsung tunduk atau kabur. Tapi pada akhirnya aku minta maaf, karena tak mungkin aku terus-terusan bersembunyi. Setelah kejadian itu, sepeda jarang aku pakai, sama seperti sepeda teman-teman lainnya yaitu menunggu saat musim sepeda berikutnya.

Ketika beranjak SMA, aku merelakan sepedaku dijual oleh ibu, karena aku sudah jarang menggunakannya. Selang beberapa bulan setelah sepedaku dijual, muncul lagi musim sepeda, namun kali ini sepeda Onthel. Oke, aku sudah SMA dan aku anak yang tahu diri, tak usah mengikuti tren, biar saja mereka asyik memainkan sepeda onthelnya nanti juga mereka bosan, huh!

Setelah lulus SMA, aku dan ibu kemudian pindah ke Pulau Jawa. Aku kini tinggal di Bandung, dan ibu pulang ke kampung halamannya di Wonogiri. Sekarang setiap kali aku teringat sepedaku, aku langsung ingat wak Dammak yang kini sudah meninggal, anak ayamnya yang dulu aku langgar, dan semua kenangan tentang Rantauprapat. Suatu saat, aku ingin mengunjungi lagi tanah masa kecilku itu.


dari kiri atas     : Desi, Omma, Yani
dari kiri bawah : Obi, Jannah, Mey

Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...