Aku lahir dan besar di kota Rantauprapat Kab. Labuhanbatu, sebuah kabupaten di propinsi Sumatera Utara. Dulu waktu kecil, aku mengalami beberapa musim di luar musim kemarau dan hujan.
Aku dan duniaku, maksudku dengan teman-temanku, kami punya musim sendiri. Namun datangnya musim ini tidak tentu, entah berdasarkan apa dia datang, tapi biasanya dia datang karena pergerakan pasar dan tren. Ya, musim yang kumaksud adalah permainan. Karena kami melakukan permainan itu hanya jika sedang datang musimnya saja.
Permainan yang datangnya musiman itu adalah seperti guli atau lebih sering disebut kelereng, permainan kasti, bulu tangkis, layangan, sepeda, binder, dan permainan lainnya.
Dalam dunia kami, di dalam satu musim tak melulu hanya musim (permainan) itu terus yang ada, kadang juga bisa diselingi oleh permainan yang lain, atau kami suka menggabungkan permainan agar terasa berbeda, maklum anak-anak cepat merasa bosan. Tapi yang pasti permainan tersebut di atas yang lebih mendominasi.
Bila musim kelereng tiba, akan banyak kelompok-kelompok yang bermain di tanah mengasah ketepatan menembak. Jika siang telah tiba, terkadang ibu-ibu suka mengomel kalau anaknya masih asyik panas-panasan main kelereng di halaman. Agar tetap bisa bermain kelereng saat panas sedang menyengat atau malam hari, kami biasanya pindah ke dalam rumah untuk main terka kelereng, bermain kartu atau gambaran, dan taruhannya adalah kelereng (ini sebenernya adalah permainan judi, tidak patut untuk dicontoh )
Dulu, aku suka mengumpulkan kelereng di botol bekas air mineral. Kalau sudah banyak aku menjualnya ke teman-teman, namun terkadang aku juga bisa mengalami masa bangkrut, dan giliranku yang membeli ke teman. Hal yang menjengkelkan adalah saat kelerengku sudah banyak, eh musimnya telah berakhir, terpaksa kelereng disimpan sebagai investasi menunggu musim kelereng berikutnya.
Di waktu lain, saat musim sepeda tiba, teman-teman yang punya sepeda sering berkumpul di lapangan bulu tangkis di belakang rumahku. Setelah itu kami akan mengayuh sepeda ke gang sebelah yaitu ke Jalan Perisai. Medan yang kami lewati untuk sampai ke Jalan Perisai bukanlah jalan yang mulus. Kami mesti lewat belakang, melalui kamar potong atau tempat penyembelihan kerbau, juga melewati kuburan Cina dengan jalan bebatuannya yang tajam. Tapi jalan ini lebih aman jika dibanding harus melalui jalan beraspal di jalan raya.
Di Jalan Perisai, ada sebuah komplek perumahan yang di belakangnya terdapat lapangan yang medannya cukup menantang. Tempat yang kami tuju bukan lapangan biasa, tapi lapangan tanah merah yang mempunyai gundukan-gundukan tanah yang cukup besar. Dengan kondisi tanah seperti itu, maka akan membawa kami seolah berperan sebagai pembalap cross, dan bermain sepeda jadi terasa sangat seru karena terasa terbang sambil naik sepeda karena gundukan tanahnya.
Awal-awal musim sepeda, aku belum punya sepeda. Biasanya yang tidak punya sepeda nebeng kepada teman, dibonceng belakang dan berdiri. Di pergaulan kami, yang sepedanya punya boncengan duduk di belakang itu tidak keren, kalau mau duduk di setang sekalian. Kadang, karena jalan bebatuan dan terjal, pengendara sepeda kesulit untuk membawa boncengan. Jika hal tersebut terjadi, maka yang menebeng dipersilahkan berjalan untuk mengurangi beban. Di lapangan—karena tak punya sepeda, seringnya aku hanya melihat teman yang asyik terbang dengan sepedanya.
Karena tak mau menyusahkan orang terus dengan menebeng, dan tak enak karena mengurangi kebahagiaan teman dengan meminjam sepedanya, maka aku merengek pada ibu minta dibelikan sepeda. Saat itu aku masih kelas 5 SD, dan ibuku mungkin berpikir kalau keinginanku ini hanya sesaat, karena sebentar lagi aku akan SMP dan akan jarang bermain sepeda, lagi pula ukuran sepeda untukku juga tanggung: bukan sepeda anak kecil, juga bukan sepeda orang dewasa.
Entah berapa lama aku meminta untuk dibelikan sepeda, aku tidak ingat, namun yang pasti aku sempat mengajukan protes dengan mogok makan: tidak sarapan, tidak makan siang, tidak makan malam, namun mengambil uang ibuku tanpa sepengetahuannya untuk bisa jajan.
Dulu aku memang anak yang susah makan. Ibuku selalu membelikan vitamin agar nafsu makanku bertambah. Beliau juga kerap memberikan lauk yang enak, sayur, dan buah-buahan, namun nafsu makanku tidak beranjak baik. Aku berjanji pada ibu, kalau aku dibelikan sepeda, aku tidak akan males makan lagi. Setelah meyakinkan ibu terus-menerus, aku akhirnya mendapatkan sepeda. Janjiku pada ibu ternyata lebih mujarab daripada aksi protes yang kulakukan.
Sepedaku berwarna pink, bannya putih. Ban itu adalah ban motor, jadi tidak bisa dipompa dengan pompa manual, melainkan harus dengan angin buat motor yang biasa ada di tambal ban. Kayuhannya ringan, rantainya juga tidak pernah lolos, tidak seperti punya temanku yang sering aku tebengin. Sepedaku tidak seratus persen baru, ibuku membelinya dari si Yani anak wak Ros: dia sudah besar, jadi sudah tidak mau lagi naik sepeda, meskipun sebetulnya hanya beda setahun denganku.
Seperti musim kelereng, saat kelereng telah banyak kukumpulkan namun kemudian tak ada lagi yang memainkan, begitu pula dengan sepeda. Selang beberapa minggu sejak aku punya sepeda, orang-orang sudah malas bermain sepeda lagi. Tapi karena aku masih girang punya sepeda baru, jadi tak masalah jika aku main sepeda sendirian.
Suatu hari kejadian naas menimpaku. saat itu tengah hari saat aku telah pulang sekolah sekitar pukul 14.00 WIB, ketika aku bersepeda dan melewati jalan tempat aku belajar sepeda dulu—yaitu melewati sebuah turunan, saking asyiknya melewati turunan tersebut, aku tak sadar seperti menabrak sesuatu. Aku terus saja lewat, namun tiba-tiba si Obi yang rumahnya di depan turunan itu berteriak, “Ala bayaaak… anak ayam wak Dammak!” Ternyata aku baru saja melanggar anak ayam.
Mengetahui hal tersebut aku tentu saja kaget. Aku berputar ke arah belakang rumah si Obi dan langsung pulang, sekilas kulihat orang-orang ramai mengerubungi anak ayam yang kulanggar itu. Seharian itu aku di rumah saja, tak berani keluar. Selang beberapa hari baru aku berani keluar, ternyata Obi melihat semuanya, dan wak Dammak tahu bahwa aku adalah pelaku “pembunuhan” anak ayamnya. Aku tak berani lihat wak Dammak, kalau melihatnya aku langsung tunduk atau kabur. Tapi pada akhirnya aku minta maaf, karena tak mungkin aku terus-terusan bersembunyi. Setelah kejadian itu, sepeda jarang aku pakai, sama seperti sepeda teman-teman lainnya yaitu menunggu saat musim sepeda berikutnya.
Ketika beranjak SMA, aku merelakan sepedaku dijual oleh ibu, karena aku sudah jarang menggunakannya. Selang beberapa bulan setelah sepedaku dijual, muncul lagi musim sepeda, namun kali ini sepeda Onthel. Oke, aku sudah SMA dan aku anak yang tahu diri, tak usah mengikuti tren, biar saja mereka asyik memainkan sepeda onthelnya nanti juga mereka bosan, huh!
Setelah lulus SMA, aku dan ibu kemudian pindah ke Pulau Jawa. Aku kini tinggal di Bandung, dan ibu pulang ke kampung halamannya di Wonogiri. Sekarang setiap kali aku teringat sepedaku, aku langsung ingat wak Dammak yang kini sudah meninggal, anak ayamnya yang dulu aku langgar, dan semua kenangan tentang Rantauprapat. Suatu saat, aku ingin mengunjungi lagi tanah masa kecilku itu.
![]() |
dari kiri atas : Desi, Omma, Yani
dari kiri bawah : Obi, Jannah, Mey
|
No comments:
Post a Comment