Tuesday, January 22, 2019

Proyek Lana Audy



Ya, Mak Mey barangkali mau memberikan tanggapan dengan keterlibatannya menjadi partisipator dari awal mengikuti kegiatan sampai sekarang. Sejenak aku tersadar orang-orang yang hadir dalam acara diskusi Lana yang diadakan oleh Audya menoleh kepadaku, melihat orang yang dimaksud oleh Audya. Aku terdiam dan kepala ku kosong. Aku tak mau menanggapi apa-apa. Dari tadi aku tak mengerti dengan bahasan mereka, membahas masalah psikologi dengan rajutan, mungkin mengerti, tapi sedikit karena aku datang terlambat karena harus memenuhi kewajiban sebagai seorang karyawan dulu. Akhirnya kata yang keluar dari mulutku hanya “tidak ada” sambil tersenyum. Ntah aku disana terlihat bodoh atau apa aku tak peduli. Apa gunanya menghadiri sebuah acara diskusi jika kau hanya diam saja ?

Yang selalu menjadi kebiasaanku adalah menyesali, lalu muncul dikeplaku harusnya aku bilang saja ini, harusnya aku bilang saja itu, tapi rasanya saat itu aku tidak bisa menjahit kata-kata yang ada dikepalaku. Baiklah, lebih baik aku curahkan disini saja.

Awalnya aku kira menjadi Partisipator Tugas Akhir Audya hanya merajut sambil curhat lalu hasil rajutan akan dipamerkan seperti hari ini, tapi ternyata Audya melakukan pendekatan yang lebiih ke masing-masing partisipatornya sehingga mau menguak rahasia mereka masing-masing.

Sebagai peserta aku hanya ikut-ikut saja dari hal-hal yang sudah dipersiapkan Audya. Sebenarnya partipisator TA Audya terdiri banyak orang dan dibagi menjadi beberapa sesi, aku sendiri kalau tidak salah ada di sesi ke 5 dari 7 sesi yang ada, masing-masing sesi terdiri dari 5-6 orang. 1 sesi berlangsung 4 hari. Hari pertama memasuki perkenalan walau orang yang satu sesi dengan ku sudah saling kenal sebelumnya. Setelah perkenalan lalu Audya menunjukkan karya-karya rajutannya dan menceritakan kenapa dia merajut ini dan itu. Masing-masing karya rajut memiliki cerita.

Setelah Dia bercerita, lalu dia gantian mempersilahkan kami untuk menceritakan kegelisahan kami masing-masing, karena seolah tidak ada yang mau memulai maka dilakukan hompimpa gambreng agar adil dann orang pertama yang bercerita adalah aku hhh

Lagi-lagi aku gak tau mau cerita apa, apakah harus ada dikaitkan dengan agama ? karena Audya telah mencontohkan kegelisahan dia dan juga temannya terkait agama. ya akhir-akhir ini isu agama memang terlalu berlebih aku rasa. Lalu aku mengoceh bla bla bla dan tiba-tiba dada ku sesak, hidungku susah bernafas dan air pun mengalir dari mataku disaat akhir-akhir ceritaku hampir selesai. Kenapa aku menangis ? oh ayolahh padahal ceritaku mungkin tak ada sedih-sedihnya bagi yang mendengar bahkan jika aku kemudian mendengar rekaman suaraku, aku pasti tidak akan menangis.

Kemudian teman-teman yang lain bercerita sesuai gilirannya, kemudian menangis pula oh.. benarkan, masalah hidupku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan masalah mereka. Satu catatan semua harus bisa menjaga rahasia satu sama lain.

Hari berikutnya kami menuliskan apa yang sudah kami ungkapkan kemarin di secarik kertas, setah itu belajar dasar-dasar merajut. Hari ke-tiga harusnya kami menyeketh apa yang akan kami rajut, tapi karena aku kira acara sesi ini sampai 5 hari, maka di hari ke-3 aku tidak datang, tentu saja karena suatu hal juga, dan di hari terakhir kami belajar merajut lagi dan menyampaikan kesan-kesan dari kegiatan yang telah kami ikuti.



Sehari sebelum pameran, Audya mengajak partisipan untuk menyiapkan pameran, mengajak partisipan untuk menentukan sendiri bagaimana karya mereka akan ditampilkan.

saat memasuki ruang pameran, terdapat poster berupa informasi pameran dan layar LCD yang menunjukkan proses karya Lana ini dibuat, dari Audya membeli bahan-bahan merajut hingga proses sharing dengan partisipan. Pada tembok sebelah kiri telah terpajang tulisan-tulisan kami para partisipan, tidak ada yang tau tulisan itu kisah siapa karena nama dicantumkan dibelakang kertas, di ruang tengah telah terpajang rapi karya rajut yang menggantung di udara, total ada sekitar 45 rajutan. didekat karya rajut, ada sebuah meja yang diatasnya terdapat tumpukan benang rajut dan alat rajut lainnya, tak jauh dari situ tertempel sketsa-sketsa rajutan. Mungkin di meja itu pula terdapat rekaman cerita para partisipan. pada tembok dekat tempelan sketsa ada layar LCD satu lagi yang memperlihatkan persiapan display pameran.


Seperti bahasan diawal aku datang ke acara diskusi Lana, sebenarnya masalah psikologi tidak ada kaitannya dengan merajut kalau menurut ku, Audya sendiri mengatakan jika merajut dianggap sebagai terapi mungkin itu adalah bonus. Aku sendiri menangkap bahwa rajutan itu adalah media untuk mempertemukan kami semua sebagai partisipan dan cerita dari kegelisahan kami adalah tambahannya.

Seperti karya rajut kami, awalnya aku bingung mau bikin apa karena karya harus memiliki cerita. Maka jadinya bukan karena aku ada suatu kegelisahan maka aku membuat karya tersebut, tapi malah aku membuat karya tersebut lalu membuat ceritanya sesuai dengan kegelisahan ku. Yah walau saat merajut aku merasa seperti hilang, mengikuti pola rajutan ku dan melupakan apa yang ada difikiran ku, tapi Yah tetap saja aku kira seni dan psikologis memang tidak ada kaitannya.


Diacara diskusi ada yang bertanya, jadi, karya ini karya siapa ? Audya sebagai Fasilitator atau karya para Partisipan ?

Pertanyaan yang kemudian dijawab yang jawabannya tidak aka ada habisnya, maksudnya pertanyaan itu tak akan bisa terjawab. Semua saling terkait, satu sisi karya-karya rajut yang dipamerkan memang karya partisipan, tapi karena projek Lana yang dibuat Audya lah maka karya-karya itu ada. Jika memang ada yang bilang kalau Audya memanfaatkan kami sebagai partisipan aku sih tidak masalah, karena dari awal aku bergabung sebagai partisipannya Audya selain agar bisa merajut, yah tentu saja untuk membantu Dia menyelesaikan Tugas Akhirnya, mau dibagaimanakan pun karya itu, yah terserah dia. Jadi sukses terus yah sobat.. semoga kedepan bisa bikin pameran tunggal yang lebih besar lagi.. mantaap hehe













Thursday, January 17, 2019

Momotoran "Sedep"



“Aku ganteng yah kalau lagi hujan”
“ what ?” keningku mengkerut mendengar ucapannya, “kenapa ?”
“iya, soalnya terasa bersih, aku jadi ngerasa lebih ganteng”

Aku hanya menggeleng saja mendengar ucapannya, lucu juga sih, dia sadar diri kalau sehari-hari dia memang dekil.

Tak berapa lama kami melanjutkan perjalanan menuju arah Garut dari perkebunan Sedep. Iya, kami, bukan hanya aku dan dia, tapi bersama 11 teman lainnya dari Komunitas Aleut, total ada 7 motor dengan 1 motor single. Momotoran ke perkebunan Sedep ini kedua kali dilakukan Komunitas Aleut setelah 2 tahun yang lalu saat bulan Ramadhan, saat itu perjalanan dirasa lebih lama karena pulang momotoran jam 3 dini hari, saat orang-orang bersiap untuk sahur. Perjalanan kali ini kami usahakan lebih cepat dengan tidak mampir ke pabrik teh, dan mampir-mampir ke tempat lain.

gapura Neglawangi



Garut 75 km ke kiri, Bandung 85 km kebelakang, perjalanan yang sesungguhnya pun baru dimulai, padahal sebelumnya kami sudah melalui jalan berbatu yang tak mulus dan genangan air dari awal memasuki desa Neglawangi perkebunan Sedep. Makin kesini jalan makin parah, sampai akhirnya kami menemukan Alun-alun desa, mengisi bensin, lalu mencari warung. Yang ada hanya warung mie bakso, mau tak mau semua harus makan mie, karena di depan tidak ada warung lagi, kecuali Gistha, dia sedang sakit dan tak bernafsu makan, dia lebih memilih tiduran di musallah, dan kemudinya diambil alih oleh Akay sejak memasuki desa Neglawangi.

***

“nah, dulu kami mampir disini”
“ohh ini warung yang kita berhenti yah, waktu si Anggi sibuk cari sinyal buat nghubungin istrinya’
“waktu perjalanan sedep pertama mah nyampe sini sudah magrib”

begitu ucapan-ucapan mereka alumni Sedep 1, bagi mereka perjalanan kali ini seperti napak tilas, tapi tentu saja keadaannya berbeda, waktu mereka memasuki hutan dan jalan jelek, hari sudah gelap.



warung di dekat alun-alun desa

“boleh lah kita ngopi dulu, biar seperti perjalanan pertama”

Tapi, karena warung yang dimaksud ada diseberang lapang yang becek, maka kami meneruskan ke warung berikutnya. Kopi, susu, energen, bala-bala segera dikonsumsi untuk menghangatkan badan. Dari sekitar jam 10 rintik hujan sudah menemani perjalanan kami, air di jas hujan sedah merembes ke badan, kemudian tahu goreng siap di gado bersama kecap dan cengek. Karena berasa tanggung, bagi mereka yang gembul pun memesan nasi dan telur ceplok setengah mateng. Melihat si gembul makan, ntah kenapa timbul pula hasrat ingin makan. Memang, sigembul itu kalau makan bikin orang lain berselera makan. Tapi sepertinya tidak untuk Gista, dia sedang tidak enak badan.

***

“ kamu cantik yah kalau lagi hujan”
“ what ??” lagi-lagi aku tertawa mendengar ucapannya. Entah apa yang sedang dia fikirkan
“iya soalnya terlihat bersihh”

Ya ya ya argument yang bisa diterima.
Saat itu kami sudah sampai di komplek PT. Arkora, saat itu di turunan yang tajam ada portal yang di bawahnya ada kabut, kabut adalah latar yang cantik buat berfoto. Sat itu tak ada yang bisa ditanya jalan, bahkan pos yang didekat portal tidak ada orang.

Iya, kami sedang melewati rute baru, penasaran dengan kampung Pandawa yang dalam sunda menjadi Panawa, kami tidak berani turun kebawah melewati portal karrena didepan sudah ada peringatan selain petugas dilarang masuk. PT. Arkora ini ternyata perusahaan PLTM yang bikin kami penasaran, apa itu PLTM ? lalu menebak-nebak singkatan dengan guyon lalu berbalik meninggalkan portal dan kabut dibawah sana.


Saat di kawasan perusahaan, jalanan bisa dikatakan mulus, tapi tak berlangsung lama karena kami harus berhadapan dengan jalanan berbatu yang lebih tajam dan tanjakan dan turunan yang tajam pula, beruntung saat itu hujan sedang berhenti, tak terbayang licinnya jalan dan ngerinya jurang disebelah. Pohon tumbang dan lonsor juga menghantui. Entah berapa km yang kami lalui, akhirnya kami melihat sawah yang berarti kami sudah dekat dengan pemukiman penduduk.

Bertemu pemukiman, bertemu pula pada jalan beraspal, saya rasa rata-rata teman seperjalanan merasa lega. Karena tak perlu lagi menahan kemudi agar motor tak oleng atau yang dibonceng tak pula lagi menahan kakinya agar bokong tak lompat-lompat. Kami membersihkan diri dari lumpur di sebuah curug di Garut, tak jauh sebelumnya ada tugu kecil milik PT.Antam yang menandakan dekat daerah tersebut terdapat pertambangan emas.

***

“nah harusnya kita keluar dari situ”

Aku melihat sebuah gapura jalan, itu jalan masuk ke perkebunan teh Papandayan. Tak jauh setelahnya kami berhenti sebentar untuk mengisi bensin dan meluruskan bokong. Hujan kembali turun menemani perjalanan kami.

Hari sudah magrib tapi kami belum sampai Cikajang, sepanjang jalan aku terus melihat km jalan, 13 CKJ, 12 CKJ, 11 CKJ dan seterusnya.. kali ini aku ingin cepat sampai, bokongku terasa sudah lecet karena di motor seharian, walau tadi aku sudah peregangan, bokong masih terasa pegal. Sementara yang memboncengku tidak bisa berkendara dengan cepat karena penglihatannya sudah 5% air hujan dan gelap tak bisa membuatnya melihat jalan, dan lampu rem teman menjadi acuannya.

Samarang Garut terus, Bandung kanan, aku melihat plang jalan. Kami mengarah ke Samarang membuatku mengingat rujak ibu ini Garsel, bukan nama si Ibu, tapi Garsel itu singkatan dari Garut Selatan. Jalanan membawa kami ke Cipanas, kalau sudah di Cipanas tentu saja harus berendam. Aku kira kami akan menginap, ternyata hanya rehat sejenak untuk makan dan membersihkan diri.



Kami melanjutkan perjalanan sekitar jam 11 malam, karena ada beberapa berita banjir dari WAG kami harus mencari rute terbaik. Lagi, kami harus melewati hutan dan jalur naik turun dan berkelok. Tapi akhirnya sampai di Majalaya.

Buah batu terus, Rancaekek kanan, lagi-lagi aku melihat plang jalan, tapi kami belok ke kanan dari yang seharusnya terus, oh.. aku rasa perjalanan kali ini penuh dengan kelokan, semakin jauh dan jauh. Aku menjadi tidask sabar karena badan sudah minta berontak. Oke, ini untuk menghindari banjir aku harus bersabar.  Di pertigaan kami berpisah dengan mangHepi, dia langsung pulang dan kini kami tinggal  ber-12.

“waktu momotoran Sedep pertama kamu terus masuk ke jalan tol yah ? haha”

Aku meledeknya agar dia sedikit bersemangat, perjalanan kami hampir selesai, tinggal melewati Cibiru, Gedebage, lalu masuk ke Jl. Sukarno-Hatta. Sejak kami melanjutkan perjalanan dari Cipanas, hujan sudah tidak bersama kami lagi hal itu sedikit menguntungkan karena bisa mengeringkan jas hujan yang kami kenakan dan mengurangi rasa dingin.

Aku ingat kata-katanya saat kami belum sampai di Cipanas, saat magrib dan hujan dan gelap dan penglihatannya berkurang.
“oke, malam makin dingin, tapi pelukan harus makin hangat yah !”
Oke, karena sudah tidak hujan, tak usah pelukan lagi yah, bahu ku pegaaalll :p





Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...