Thursday, January 17, 2019

Momotoran "Sedep"



“Aku ganteng yah kalau lagi hujan”
“ what ?” keningku mengkerut mendengar ucapannya, “kenapa ?”
“iya, soalnya terasa bersih, aku jadi ngerasa lebih ganteng”

Aku hanya menggeleng saja mendengar ucapannya, lucu juga sih, dia sadar diri kalau sehari-hari dia memang dekil.

Tak berapa lama kami melanjutkan perjalanan menuju arah Garut dari perkebunan Sedep. Iya, kami, bukan hanya aku dan dia, tapi bersama 11 teman lainnya dari Komunitas Aleut, total ada 7 motor dengan 1 motor single. Momotoran ke perkebunan Sedep ini kedua kali dilakukan Komunitas Aleut setelah 2 tahun yang lalu saat bulan Ramadhan, saat itu perjalanan dirasa lebih lama karena pulang momotoran jam 3 dini hari, saat orang-orang bersiap untuk sahur. Perjalanan kali ini kami usahakan lebih cepat dengan tidak mampir ke pabrik teh, dan mampir-mampir ke tempat lain.

gapura Neglawangi



Garut 75 km ke kiri, Bandung 85 km kebelakang, perjalanan yang sesungguhnya pun baru dimulai, padahal sebelumnya kami sudah melalui jalan berbatu yang tak mulus dan genangan air dari awal memasuki desa Neglawangi perkebunan Sedep. Makin kesini jalan makin parah, sampai akhirnya kami menemukan Alun-alun desa, mengisi bensin, lalu mencari warung. Yang ada hanya warung mie bakso, mau tak mau semua harus makan mie, karena di depan tidak ada warung lagi, kecuali Gistha, dia sedang sakit dan tak bernafsu makan, dia lebih memilih tiduran di musallah, dan kemudinya diambil alih oleh Akay sejak memasuki desa Neglawangi.

***

“nah, dulu kami mampir disini”
“ohh ini warung yang kita berhenti yah, waktu si Anggi sibuk cari sinyal buat nghubungin istrinya’
“waktu perjalanan sedep pertama mah nyampe sini sudah magrib”

begitu ucapan-ucapan mereka alumni Sedep 1, bagi mereka perjalanan kali ini seperti napak tilas, tapi tentu saja keadaannya berbeda, waktu mereka memasuki hutan dan jalan jelek, hari sudah gelap.



warung di dekat alun-alun desa

“boleh lah kita ngopi dulu, biar seperti perjalanan pertama”

Tapi, karena warung yang dimaksud ada diseberang lapang yang becek, maka kami meneruskan ke warung berikutnya. Kopi, susu, energen, bala-bala segera dikonsumsi untuk menghangatkan badan. Dari sekitar jam 10 rintik hujan sudah menemani perjalanan kami, air di jas hujan sedah merembes ke badan, kemudian tahu goreng siap di gado bersama kecap dan cengek. Karena berasa tanggung, bagi mereka yang gembul pun memesan nasi dan telur ceplok setengah mateng. Melihat si gembul makan, ntah kenapa timbul pula hasrat ingin makan. Memang, sigembul itu kalau makan bikin orang lain berselera makan. Tapi sepertinya tidak untuk Gista, dia sedang tidak enak badan.

***

“ kamu cantik yah kalau lagi hujan”
“ what ??” lagi-lagi aku tertawa mendengar ucapannya. Entah apa yang sedang dia fikirkan
“iya soalnya terlihat bersihh”

Ya ya ya argument yang bisa diterima.
Saat itu kami sudah sampai di komplek PT. Arkora, saat itu di turunan yang tajam ada portal yang di bawahnya ada kabut, kabut adalah latar yang cantik buat berfoto. Sat itu tak ada yang bisa ditanya jalan, bahkan pos yang didekat portal tidak ada orang.

Iya, kami sedang melewati rute baru, penasaran dengan kampung Pandawa yang dalam sunda menjadi Panawa, kami tidak berani turun kebawah melewati portal karrena didepan sudah ada peringatan selain petugas dilarang masuk. PT. Arkora ini ternyata perusahaan PLTM yang bikin kami penasaran, apa itu PLTM ? lalu menebak-nebak singkatan dengan guyon lalu berbalik meninggalkan portal dan kabut dibawah sana.


Saat di kawasan perusahaan, jalanan bisa dikatakan mulus, tapi tak berlangsung lama karena kami harus berhadapan dengan jalanan berbatu yang lebih tajam dan tanjakan dan turunan yang tajam pula, beruntung saat itu hujan sedang berhenti, tak terbayang licinnya jalan dan ngerinya jurang disebelah. Pohon tumbang dan lonsor juga menghantui. Entah berapa km yang kami lalui, akhirnya kami melihat sawah yang berarti kami sudah dekat dengan pemukiman penduduk.

Bertemu pemukiman, bertemu pula pada jalan beraspal, saya rasa rata-rata teman seperjalanan merasa lega. Karena tak perlu lagi menahan kemudi agar motor tak oleng atau yang dibonceng tak pula lagi menahan kakinya agar bokong tak lompat-lompat. Kami membersihkan diri dari lumpur di sebuah curug di Garut, tak jauh sebelumnya ada tugu kecil milik PT.Antam yang menandakan dekat daerah tersebut terdapat pertambangan emas.

***

“nah harusnya kita keluar dari situ”

Aku melihat sebuah gapura jalan, itu jalan masuk ke perkebunan teh Papandayan. Tak jauh setelahnya kami berhenti sebentar untuk mengisi bensin dan meluruskan bokong. Hujan kembali turun menemani perjalanan kami.

Hari sudah magrib tapi kami belum sampai Cikajang, sepanjang jalan aku terus melihat km jalan, 13 CKJ, 12 CKJ, 11 CKJ dan seterusnya.. kali ini aku ingin cepat sampai, bokongku terasa sudah lecet karena di motor seharian, walau tadi aku sudah peregangan, bokong masih terasa pegal. Sementara yang memboncengku tidak bisa berkendara dengan cepat karena penglihatannya sudah 5% air hujan dan gelap tak bisa membuatnya melihat jalan, dan lampu rem teman menjadi acuannya.

Samarang Garut terus, Bandung kanan, aku melihat plang jalan. Kami mengarah ke Samarang membuatku mengingat rujak ibu ini Garsel, bukan nama si Ibu, tapi Garsel itu singkatan dari Garut Selatan. Jalanan membawa kami ke Cipanas, kalau sudah di Cipanas tentu saja harus berendam. Aku kira kami akan menginap, ternyata hanya rehat sejenak untuk makan dan membersihkan diri.



Kami melanjutkan perjalanan sekitar jam 11 malam, karena ada beberapa berita banjir dari WAG kami harus mencari rute terbaik. Lagi, kami harus melewati hutan dan jalur naik turun dan berkelok. Tapi akhirnya sampai di Majalaya.

Buah batu terus, Rancaekek kanan, lagi-lagi aku melihat plang jalan, tapi kami belok ke kanan dari yang seharusnya terus, oh.. aku rasa perjalanan kali ini penuh dengan kelokan, semakin jauh dan jauh. Aku menjadi tidask sabar karena badan sudah minta berontak. Oke, ini untuk menghindari banjir aku harus bersabar.  Di pertigaan kami berpisah dengan mangHepi, dia langsung pulang dan kini kami tinggal  ber-12.

“waktu momotoran Sedep pertama kamu terus masuk ke jalan tol yah ? haha”

Aku meledeknya agar dia sedikit bersemangat, perjalanan kami hampir selesai, tinggal melewati Cibiru, Gedebage, lalu masuk ke Jl. Sukarno-Hatta. Sejak kami melanjutkan perjalanan dari Cipanas, hujan sudah tidak bersama kami lagi hal itu sedikit menguntungkan karena bisa mengeringkan jas hujan yang kami kenakan dan mengurangi rasa dingin.

Aku ingat kata-katanya saat kami belum sampai di Cipanas, saat magrib dan hujan dan gelap dan penglihatannya berkurang.
“oke, malam makin dingin, tapi pelukan harus makin hangat yah !”
Oke, karena sudah tidak hujan, tak usah pelukan lagi yah, bahu ku pegaaalll :p





No comments:

Post a Comment

Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...