“Aku ganteng yah kalau lagi
hujan”
“ what ?” keningku mengkerut
mendengar ucapannya, “kenapa ?”
“iya, soalnya terasa bersih, aku
jadi ngerasa lebih ganteng”
Aku hanya menggeleng saja
mendengar ucapannya, lucu juga sih, dia sadar diri kalau sehari-hari dia memang
dekil.
Tak berapa lama kami melanjutkan
perjalanan menuju arah Garut dari perkebunan Sedep. Iya, kami, bukan hanya aku
dan dia, tapi bersama 11 teman lainnya dari Komunitas Aleut, total ada 7 motor
dengan 1 motor single. Momotoran ke perkebunan Sedep ini kedua kali dilakukan Komunitas
Aleut setelah 2 tahun yang lalu saat bulan Ramadhan, saat itu perjalanan dirasa
lebih lama karena pulang momotoran jam 3 dini hari, saat orang-orang bersiap
untuk sahur. Perjalanan kali ini kami usahakan lebih cepat dengan tidak mampir
ke pabrik teh, dan mampir-mampir ke tempat lain.
![]() |
gapura Neglawangi |
Garut 75 km ke kiri, Bandung 85 km
kebelakang, perjalanan yang sesungguhnya pun baru dimulai, padahal sebelumnya
kami sudah melalui jalan berbatu yang tak mulus dan genangan air dari awal memasuki
desa Neglawangi perkebunan Sedep. Makin kesini jalan makin parah, sampai
akhirnya kami menemukan Alun-alun desa, mengisi bensin, lalu mencari warung.
Yang ada hanya warung mie bakso, mau tak mau semua harus makan mie, karena di
depan tidak ada warung lagi, kecuali Gistha, dia sedang sakit dan tak bernafsu
makan, dia lebih memilih tiduran di musallah, dan kemudinya diambil alih oleh
Akay sejak memasuki desa Neglawangi.
***
“nah, dulu kami mampir disini”
“ohh ini warung yang kita
berhenti yah, waktu si Anggi sibuk cari sinyal buat nghubungin
istrinya’
“waktu perjalanan sedep pertama
mah nyampe sini sudah magrib”
begitu ucapan-ucapan mereka
alumni Sedep 1, bagi mereka perjalanan kali ini seperti napak tilas, tapi tentu
saja keadaannya berbeda, waktu mereka memasuki hutan dan jalan jelek, hari
sudah gelap.
“boleh lah kita ngopi dulu, biar
seperti perjalanan pertama”
Tapi, karena warung yang dimaksud
ada diseberang lapang yang becek, maka kami meneruskan ke warung berikutnya.
Kopi, susu, energen, bala-bala segera dikonsumsi untuk menghangatkan badan.
Dari sekitar jam 10 rintik hujan sudah menemani perjalanan kami, air di jas
hujan sedah merembes ke badan, kemudian tahu goreng siap di gado bersama kecap
dan cengek. Karena berasa tanggung, bagi mereka yang gembul pun memesan nasi
dan telur ceplok setengah mateng. Melihat si gembul makan, ntah kenapa timbul
pula hasrat ingin makan. Memang, sigembul itu kalau makan bikin orang lain
berselera makan. Tapi sepertinya tidak untuk Gista, dia sedang tidak enak
badan.
***
“ kamu cantik yah kalau lagi
hujan”
“ what ??” lagi-lagi aku tertawa
mendengar ucapannya. Entah apa yang sedang dia fikirkan
“iya soalnya terlihat bersihh”
Ya ya ya argument yang bisa
diterima.
Saat itu kami sudah sampai di komplek
PT. Arkora, saat itu di turunan yang tajam ada portal yang di bawahnya ada
kabut, kabut adalah latar yang cantik buat berfoto. Sat itu tak ada yang bisa
ditanya jalan, bahkan pos yang didekat portal tidak ada orang.
Iya, kami sedang melewati rute
baru, penasaran dengan kampung Pandawa yang dalam sunda menjadi Panawa, kami
tidak berani turun kebawah melewati portal karrena didepan sudah ada peringatan
selain petugas dilarang masuk. PT. Arkora ini ternyata perusahaan PLTM yang
bikin kami penasaran, apa itu PLTM ? lalu menebak-nebak singkatan dengan guyon
lalu berbalik meninggalkan portal dan kabut dibawah sana.
Saat di kawasan perusahaan,
jalanan bisa dikatakan mulus, tapi tak berlangsung lama karena kami harus
berhadapan dengan jalanan berbatu yang lebih tajam dan tanjakan dan turunan
yang tajam pula, beruntung saat itu hujan sedang berhenti, tak terbayang
licinnya jalan dan ngerinya jurang disebelah. Pohon tumbang dan lonsor juga
menghantui. Entah berapa km yang kami lalui, akhirnya kami melihat sawah yang
berarti kami sudah dekat dengan pemukiman penduduk.
Bertemu pemukiman, bertemu pula
pada jalan beraspal, saya rasa rata-rata teman seperjalanan merasa lega. Karena
tak perlu lagi menahan kemudi agar motor tak oleng atau yang dibonceng tak pula
lagi menahan kakinya agar bokong tak lompat-lompat. Kami membersihkan diri dari
lumpur di sebuah curug di Garut, tak jauh sebelumnya ada tugu kecil milik
PT.Antam yang menandakan dekat daerah tersebut terdapat pertambangan emas.
***
“nah harusnya kita keluar dari
situ”
Aku melihat sebuah gapura jalan, itu
jalan masuk ke perkebunan teh Papandayan. Tak jauh setelahnya kami berhenti
sebentar untuk mengisi bensin dan meluruskan bokong. Hujan kembali turun
menemani perjalanan kami.
Hari sudah magrib tapi kami belum
sampai Cikajang, sepanjang jalan aku terus melihat km jalan, 13 CKJ, 12 CKJ, 11
CKJ dan seterusnya.. kali ini aku ingin cepat sampai, bokongku terasa sudah
lecet karena di motor seharian, walau tadi aku sudah peregangan, bokong masih
terasa pegal. Sementara yang memboncengku tidak bisa berkendara dengan cepat
karena penglihatannya sudah 5% air hujan dan gelap tak bisa membuatnya melihat
jalan, dan lampu rem teman menjadi acuannya.
Samarang Garut terus, Bandung
kanan, aku melihat plang jalan. Kami mengarah ke Samarang membuatku mengingat
rujak ibu ini Garsel, bukan nama si Ibu, tapi Garsel itu singkatan dari Garut
Selatan. Jalanan membawa kami ke Cipanas, kalau sudah di Cipanas tentu saja
harus berendam. Aku kira kami akan menginap, ternyata hanya rehat sejenak untuk
makan dan membersihkan diri.
Kami melanjutkan perjalanan
sekitar jam 11 malam, karena ada beberapa berita banjir dari WAG kami harus
mencari rute terbaik. Lagi, kami harus melewati hutan dan jalur naik turun dan
berkelok. Tapi akhirnya sampai di Majalaya.
Buah batu terus, Rancaekek kanan,
lagi-lagi aku melihat plang jalan, tapi kami belok ke kanan dari yang
seharusnya terus, oh.. aku rasa perjalanan kali ini penuh dengan kelokan,
semakin jauh dan jauh. Aku menjadi tidask sabar karena badan sudah minta berontak.
Oke, ini untuk menghindari banjir aku harus bersabar. Di pertigaan kami berpisah dengan mangHepi,
dia langsung pulang dan kini kami tinggal ber-12.
“waktu momotoran Sedep pertama
kamu terus masuk ke jalan tol yah ? haha”
Aku meledeknya agar dia sedikit
bersemangat, perjalanan kami hampir selesai, tinggal melewati Cibiru, Gedebage,
lalu masuk ke Jl. Sukarno-Hatta. Sejak kami melanjutkan perjalanan dari
Cipanas, hujan sudah tidak bersama kami lagi hal itu sedikit menguntungkan
karena bisa mengeringkan jas hujan yang kami kenakan dan mengurangi rasa
dingin.
Aku ingat kata-katanya saat kami
belum sampai di Cipanas, saat magrib dan hujan dan gelap dan penglihatannya
berkurang.
“oke, malam makin dingin, tapi
pelukan harus makin hangat yah !”
Oke, karena sudah tidak hujan,
tak usah pelukan lagi yah, bahu ku pegaaalll :p
No comments:
Post a Comment