Mengharukan, seseorang yang
menghukum mati sahabatnya sendiri karena melakukan pemberontakan. Berawal dari
pertanyaan bodoh, bagaimana akhirnya pemberontakan itu berakhir ? akhirnya dia yang
memboncengku bercerita, dulu, Sukarno berteman dengan Kartosoewirjo di
Surabaya, mereka ngekos di tempat yang sama yaitu di rumah Tjokroaminoto yang
juga merupakan guru mereka. Pada masa setelah kemerdekaan Kartosoewirjo menjadi
pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yaitu suatu gerakan yang
ingin mendirikan Negara islam, hampir 10 tahun lamanya setelah penyerangan
DI/TII ke masjid Cipari dilakukan, akhirnya sang pemimpin pemberontak berhasil
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Sukarno yang saat itu menjadi Presiden RI
saat menandatangani keputusan tersebut menangis.
Minggu, 3 maret 2019 aku dan komunitas
Aleut dalam perjalanan menuju Cipari, Garut, dalam acara ngaleut Bagendit. Saat dia bercerita kami masih di Sapan menuju Cijapati yang terdiri dari 9 orang dengan 5
motor, seorang teman yang tadinya akan bertemu dengan kami di Cijapati batal
ikut, jadinya kami tidak jadi 10 orang.
 |
warung di Cijapati
|
Teman kami itu bernama Hepipa,
tadinya dia yang akan memimpin perjalanan kami dari Cijapati mengelilingi Garut
dan memberikan penjelasan mengenai perkeretaapian, namun karena dia batal ikut,
maka rombongan dibawa oleh Bang Ridwan, penasehat komunitas Aleut, mengikuti
rute yang telah ditentukan sebelumnya saat kamisan.
Sebelum masuk Garut, kami
istirahat sebentar di warung yang ada di Cijapati, menikmati pemandangan alam
dengan gunung berlapis kabut, dan cuaca yang sangat bersahabat : tidak mendung
dan tidak panas menyengat, sekitar jam
11 kami lanjut menuju Garut.
Karena Pahepipa tidak ikut, maka
saat melewati stasiun Leuwigoong kami hanya numpang lewat dan foto saja, begitu
pula dengan Stasiun Cibatu, beberapa informasi yang saya tangkap, St Leuwigoong
lebih berupa halte karena hanya buka pada saat
melayani kedatangan dan keberangkatan penumpang kereta api lokal saja,
dan hanya terdiri dari satu jalur
kereta. Sementara St Cibatu merupakan stasiun aktif terbesar yang ada di Garut,
pada masa Kolonial Belanda st Garut merupakan tempat pemberhentian para
Wisatawan Eropa yang berlibur ke Garut, dulu setiap hari di St Cibatu terdapat
taksi yang selalu terparkir, taksi-taksi tersebut nantinya akan mengantar para
wisatawan Eropa tersebut ke Hotel yang ada di Garut.
 |
Stasiun Leuwigoong
|
 |
Stasuin Cibatu |
Salah dua wisatawan yang
berkunjung ke Garut adalah komedian terkenal Charlie Chaplin pada tahun 1927
juga Pablo Neruda dan istrinya yang akan berbulan madu di Ngamplang.
Akhirnya kami sampai di Cipari,
tujuan kami adalah masjid Cipari, sebuah masjid di tengah sawah. Dalam
ekspektasi saya masjid benar-benar berada di tengah sawah, tapi itu dulu. Saat
ini telah dibangun rumah-rumah, madrasah juga asrama untuk para santri. Tak
jauh dari masjid ada rumah bergaya jadul di pinggir sawah, belum tau ada cerita
apa di situ. Saat pertama datang, aku sempat bingung, kenapa banyak anak sekolah
di hari minggu, awalnya aku kira sedang ada ekskul pramuka gitu, eh ternyata
anak-anak pesantren, yang sekolahnya
libur di hari jumat.
 |
masjid Cipari dengan gaya Art Deco |
 |
a.k.a masjid Assyuro |
Masjid itu bernama masjid
Assyuro, yang membuat masjid ini unik adalah design bangunannya yang bergaya
Art deco, orang-orang mengenalnya sebagai mesjid gereja karena seperti bangunan
Belanda, dan banyak yang menyangka juga bangunan ini dibangun oleh orang
Belanda, padahal yang membangunnya adalah masyarakat sekitar dan pemuda Sarekat
Islam yang di arsitekin oleh Abikusno Cokrosuryo yang juga merupakan anggota
Sarekat Islam. Dia membangun masjid tersebut dari tahun 1933-1936.
 |
plang tahun pembuatan masjid |
 |
suasana dalam masjid sebelum naik ke menara |
 |
beberapa anak tangga masjid
|
Pada masa pemberontakan DI/TII
yaitu 17 april dan 1952 masjid ini diserang, atau sebenarnya mengajak kiyai Yusuf Tauziri selaku ketua pesantren
yang ada di masjid Assyuro untuk bergabung dengan DI/TII namun karena mengalami
penolakan, maka mereka melakukan penyerangan. Jejak penyerangan terdapat di
menara masjid yang terdapat banyak bekas peluru, namun saat kami naik ke atas
kubah, kami tidak menjumpai bekas peluru tersebut, mungkin karena memang kami
tidak ngeh karena hampir sama dengan bekas tancapan paku, atau memang sudah ada
perbaikan.
Beralih ke cerita Charlie
Chaplin, turun di St Cibatu dia lanjut kemana sih ? sesuai dengan judul ngaleut
kami, Bagendit yang juga merupakan Situ atau danau, pernah dikunjungi Charlie
Chaplin saat ia berkunjung ke Garut, bahkan Gubernur Jendral De Fock pun
mengunjungi Bagendit.
Berlatar informasi itu, kami pun
penasaran dengan Bagendit, namun sepertinya kami salah memasuki pintu, karena
di foto jadul yang ditunjukkan oleh teman di WAG terdapat latar gunung, dan
belum ada saung. Sementara Bagendit yang kami kunjungi sudah diolah layaknya tempat
wisata, saung dan bebrapa warung, spot foto payung mengambang, hanya kurang
hiasan love. Di sekitar danau ada banyak teratai dan wisatawan bisa naik
perahu, atau rakit, atau dayung ikan.
Menikmati situ Bagendit, kami
duduk di saung dengan harga sewa Rp. 10.000/jam, sambil menunggu makanan yang
telah kami pesan, Puspita berdongen mengenai situ Bagendit yang dia ketahui.
Hampir sama dengan dongeng-dongeng mengenai danau pada umumnya yaitu orang
kikir yang mendapat azab. Dialah Nyi Enggit yang berarti hemat, sakin hematnya
dia menjadi pelit. Suatu hari ada seorang pengemis yang datang ke desa tempat
Nyi Enggit, tapi tak ada satupun yang mengasihininya. Maka si Pengemis
menancapkan tongkatnya ke tanah dan tak ada yang bisa mengangkatnya. Ternyata
yang bisa mengangkat tancapan tongkat tersebut adalah Nyi Enggit, maka setelah
tongkat terangkat, muncullah mata air yang tiada berhenti hingga menenggelamkan
seluruh desa.

Saat kami pulang si ibu warung
berpesan agar kami tidak kapok main ke Bagendit J
Kalau aku sih gak kapok, karena harga yang mereka berikan cukup wajar. Tiket
masuk/orang Rp. 5.000 dan parkir motor Rp. 3.000. beli indomie seporsi Rp.
9.000 tambah nasi. Beli dawegan satunya Rp. 10.000 rujak seporsi Rp. 5.000 yah
pokonya rata-rata harga wajar lahh. Bahkan sepertinya saung yang kami tempati
lebih dari satu jam, tapi tidak ada penagihan kembali.
Selanjutnya, seharusnya kami
mampir ke stasiun Kamojang, dan pulang melewati Kamojang bridge namun karena ada
beberapa teman yang takut ketinggian, dan tidak mau ambil resiko jika rem
blong, maka kami track back, pulang melalui Cijapati kembali. Tapi kami tidak
melewati jalur Sapan lagi karena khawatir akan adanya Begal, mengingat hari sudah
magrib, dan biasa Begal beraksi setelah magrib. Maka dari Majalaya, kami terus
ke Ciparay, Baleendah, Bojongsoang, dan Buah Batu.
Kami sampai kembali di Pasir Jaya
sekitar jam tujuh lewat, beristirahat sejenak sebelum pulang ke kediaman
masing-masing. Bercengkrama sejenak, menikmati oleh-oleh dari Garut yaitu dodol
dan cerita selama perjalanan.
nb : ini tulisan yang belum mendapat sedikit perubahan dari editor web komunitas Aleut. Untuk melihat cerita sejarah dan cerita ngaleut lainnya dapat dilihat di
web Komunitas Aleut. sedangkan untuk informasi mengenai penyerangan masjid Cipari bisa dilihat
disini