Thursday, March 21, 2019

dari Munjung hingga Jalan ke Surga atawa si Kabayan


2 mimggu belakang ini aku tengah menyibukkan diriku dengan membaca demi membunuh waktu ku yang penuh gabut. Entah kenapa, secara kebetulan kumpulan cerpen menjadi teman baca ku minggu ini. Ajip rosidi dengan jalan ke Surga atawa si Kabayan berbentuk fisik yang bisa kusentuh menemani waktuku kala jenuh di kosan. Ia kudapat dari hasil pinjam punya Manglexxx usai Kelas Literasi Munjung yang diadakan oleh Pustaka Preanger di basecamp Komunitas Aleut. Munjung sendiri adalah judul buku Kaya Moh Ambri yang berbahasa Sunda. Karena dijamin aku gak bakal ngerti dengan buku Munjung itu, maka Manglexxx berbaik hati meminjami aku buku Ajip ini, karena disalah satu cerita di buku tersebut menceritakan cerita yang ada di buku Munjung.

Munjung sendiri bukan kumpulan cerpen seperti yang ditulis Ajip, tapi jalan ceritanya hampir mirip dengan buku 1001 Malam, yang berisi cerita di dalam cerita.

Jujur saja, dulu saat sekolah nilai bhs Indonesia ku sungguh payah. Aku sangat payah dalam hal karang mengarang, selain itu kreatifitas ku kurasa sangat kurang. Jadi kuharap kalian bisa menikmati saja tulisan ini, dan mohon maaf jika banyak kesalahan penulisan dan tata bahasa lainnya.

Seperti yang tadi telah ku sebutkan, Munjung merupakan kumpulan dongeng atau cerita rakyat Sunda yang disudur oleh Ajip ke bhs Indonesia. Berisi cerita ringan yang mungkin ada baiknya dibaca oleh aku yang berusia 10 tahun. Isi buku diawali dengan cerita ringan si Kabayan dengan mertuanya, dan mulai masuk ke halaman tengah, penceritaan mulai serius seperti kisah Nyi Bungsu Barang yang malang, sang Korowelang, juga kisah ibu si Burak Silumaan. Kemudian menuju akhir halaman Ajip menghadirkan kembali cerita ringan yang berisi dongeng hewan seperti kera dan kura-kura, kerbau dan harimau yang penuh dengan pesan moral, sangat cocok untuk menasehati seorang anak.

Saat aku masih umur 10 tahun dan membaca buku ini, aku mungkin tak akan mau bangun siang dan mandi tengah hari di Siang bolong karena telah membaca kisah si cantik Nyi Asmanah atau aku akan menjadi anak yang jujur dan tidak licik setelah membaca kisah-kisah para hewan, dan aku akan berusaha mempunyai masa depan yang bagus agar tak perlu dan tidak sekalipun mencoba berhubungan dengan makhluk gaib.

Seperti hal nya sebuah dongeng, rata-rata latar waktu cerita ada di masa lampau hal itu bisa diketahui walaupun keseluruhan cerita tidak ada yang diawali dengan pada jaman dahulu kala bla bla bla.... tapi bisa diketahui dari jalannya cerita, seperti cerita si Burak Siluman saat Nyi Asmanah mandi yang masih menggunakan daun petai cina dan buah jambu batu.  Juga cerita si Pucuk Kalumpang dan Nyi Bungsu Barang yang disunting oleh sang Baginda raja.

Aku sedang menduga-duga kenapa Ajip memeberi judul buku ini Jalan lain ke Surga atawa si Kabayan. Mungkin bukan semata karena judul tersebut merupakan judul cerpen yang ada di dalam buku. Tapi bisa saja Ajip memang ingin memandu pembacanya menuju surge dengan cerita-cerita khas penuh pesan buat anak-anak agar tumbuh menjadi lebih baik.



buku minjem

Tuesday, March 12, 2019

Cerita Ngaleut : dari Cipari hingga Bagendit



Mengharukan, seseorang yang menghukum mati sahabatnya sendiri karena melakukan pemberontakan. Berawal dari pertanyaan bodoh, bagaimana akhirnya pemberontakan itu berakhir ? akhirnya dia yang memboncengku bercerita, dulu, Sukarno berteman dengan Kartosoewirjo di Surabaya, mereka ngekos di tempat yang sama yaitu di rumah Tjokroaminoto yang juga merupakan guru mereka. Pada masa setelah kemerdekaan Kartosoewirjo menjadi pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yaitu suatu gerakan yang ingin mendirikan Negara islam, hampir 10 tahun lamanya setelah penyerangan DI/TII ke masjid Cipari dilakukan, akhirnya sang pemimpin pemberontak berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Sukarno yang saat itu menjadi Presiden RI saat menandatangani keputusan tersebut menangis.

Minggu, 3 maret 2019 aku dan komunitas Aleut dalam perjalanan menuju Cipari, Garut, dalam acara ngaleut Bagendit. Saat dia bercerita kami masih di Sapan menuju Cijapati yang terdiri dari 9 orang dengan 5 motor, seorang teman yang tadinya akan bertemu dengan kami di Cijapati batal ikut, jadinya kami tidak jadi 10 orang.

warung di Cijapati
Teman kami itu bernama Hepipa, tadinya dia yang akan memimpin perjalanan kami dari Cijapati mengelilingi Garut dan memberikan penjelasan mengenai perkeretaapian, namun karena dia batal ikut, maka rombongan dibawa oleh Bang Ridwan, penasehat komunitas Aleut, mengikuti rute yang telah ditentukan sebelumnya saat kamisan.

Sebelum masuk Garut, kami istirahat sebentar di warung yang ada di Cijapati, menikmati pemandangan alam dengan gunung berlapis kabut, dan cuaca yang sangat bersahabat : tidak mendung dan tidak panas menyengat,  sekitar jam 11 kami lanjut menuju Garut.

Karena Pahepipa tidak ikut, maka saat melewati stasiun Leuwigoong kami hanya numpang lewat dan foto saja, begitu pula dengan Stasiun Cibatu, beberapa informasi yang saya tangkap, St Leuwigoong lebih berupa halte karena hanya buka pada saat  melayani kedatangan dan keberangkatan penumpang kereta api lokal saja, dan hanya terdiri dari satu  jalur kereta. Sementara St Cibatu merupakan stasiun aktif terbesar yang ada di Garut, pada masa Kolonial Belanda st Garut merupakan tempat pemberhentian para Wisatawan Eropa yang berlibur ke Garut, dulu setiap hari di St Cibatu terdapat taksi yang selalu terparkir, taksi-taksi tersebut nantinya akan mengantar para wisatawan Eropa tersebut ke Hotel yang ada di Garut.

Stasiun Leuwigoong
Stasuin Cibatu
Salah dua wisatawan yang berkunjung ke Garut adalah komedian terkenal Charlie Chaplin pada tahun 1927 juga Pablo Neruda dan istrinya yang akan  berbulan madu di Ngamplang.

Akhirnya kami sampai di Cipari, tujuan kami adalah masjid Cipari, sebuah masjid di tengah sawah. Dalam ekspektasi saya masjid benar-benar berada di tengah sawah, tapi itu dulu. Saat ini telah dibangun rumah-rumah, madrasah juga asrama untuk para santri. Tak jauh dari masjid ada rumah bergaya jadul di pinggir sawah, belum tau ada cerita apa di situ. Saat pertama datang, aku sempat bingung, kenapa banyak anak sekolah di hari minggu, awalnya aku kira sedang ada ekskul pramuka gitu, eh ternyata anak-anak  pesantren, yang sekolahnya libur di hari jumat.

masjid Cipari dengan gaya Art Deco

a.k.a masjid Assyuro

Masjid itu bernama masjid Assyuro, yang membuat masjid ini unik adalah design bangunannya yang bergaya Art deco, orang-orang mengenalnya sebagai mesjid gereja karena seperti bangunan Belanda, dan banyak yang menyangka juga bangunan ini dibangun oleh orang Belanda, padahal yang membangunnya adalah masyarakat sekitar dan pemuda Sarekat Islam yang di arsitekin oleh Abikusno Cokrosuryo yang juga merupakan anggota Sarekat Islam. Dia membangun masjid tersebut dari tahun 1933-1936.

plang tahun pembuatan masjid

suasana dalam masjid sebelum naik ke menara

beberapa anak tangga masjid

Pada masa pemberontakan DI/TII yaitu 17 april dan 1952 masjid ini diserang, atau sebenarnya mengajak  kiyai Yusuf Tauziri selaku ketua pesantren yang ada di masjid Assyuro untuk bergabung dengan DI/TII namun karena mengalami penolakan, maka mereka melakukan penyerangan. Jejak penyerangan terdapat di menara masjid yang terdapat banyak bekas peluru, namun saat kami naik ke atas kubah, kami tidak menjumpai bekas peluru tersebut, mungkin karena memang kami tidak ngeh karena hampir sama dengan bekas tancapan paku, atau memang sudah ada perbaikan.




Beralih ke cerita Charlie Chaplin, turun di St Cibatu dia lanjut kemana sih ? sesuai dengan judul ngaleut kami, Bagendit yang juga merupakan Situ atau danau, pernah dikunjungi Charlie Chaplin saat ia berkunjung ke Garut, bahkan Gubernur Jendral De Fock pun mengunjungi Bagendit.

Berlatar informasi itu, kami pun penasaran dengan Bagendit, namun sepertinya kami salah memasuki pintu, karena di foto jadul yang ditunjukkan oleh teman di WAG terdapat latar gunung, dan belum ada saung. Sementara Bagendit yang kami kunjungi sudah diolah layaknya tempat wisata, saung dan bebrapa warung, spot foto payung mengambang, hanya kurang hiasan love. Di sekitar danau ada banyak teratai dan wisatawan bisa naik perahu, atau rakit, atau dayung ikan.

Menikmati situ Bagendit, kami duduk di saung dengan harga sewa Rp. 10.000/jam, sambil menunggu makanan yang telah kami pesan, Puspita berdongen mengenai situ Bagendit yang dia ketahui. Hampir sama dengan dongeng-dongeng mengenai danau pada umumnya yaitu orang kikir yang mendapat azab. Dialah Nyi Enggit yang berarti hemat, sakin hematnya dia menjadi pelit. Suatu hari ada seorang pengemis yang datang ke desa tempat Nyi Enggit, tapi tak ada satupun yang mengasihininya. Maka si Pengemis menancapkan tongkatnya ke tanah dan tak ada yang bisa mengangkatnya. Ternyata yang bisa mengangkat tancapan tongkat tersebut adalah Nyi Enggit, maka setelah tongkat terangkat, muncullah mata air yang tiada berhenti hingga menenggelamkan seluruh desa.


Saat kami pulang si ibu warung berpesan agar kami tidak kapok main ke Bagendit J Kalau aku sih gak kapok, karena harga yang mereka berikan cukup wajar. Tiket masuk/orang Rp. 5.000 dan parkir motor Rp. 3.000. beli indomie seporsi Rp. 9.000 tambah nasi. Beli dawegan satunya Rp. 10.000 rujak seporsi Rp. 5.000 yah pokonya rata-rata harga wajar lahh. Bahkan sepertinya saung yang kami tempati lebih dari satu jam, tapi tidak ada penagihan kembali.

Selanjutnya, seharusnya kami mampir ke stasiun Kamojang, dan pulang melewati Kamojang bridge namun karena ada beberapa teman yang takut ketinggian, dan tidak mau ambil resiko jika rem blong, maka kami track back, pulang melalui Cijapati kembali. Tapi kami tidak melewati jalur Sapan lagi karena khawatir akan adanya Begal, mengingat hari sudah magrib, dan biasa Begal beraksi setelah magrib. Maka dari Majalaya, kami terus ke Ciparay, Baleendah, Bojongsoang, dan Buah Batu.

Kami sampai kembali di Pasir Jaya sekitar jam tujuh lewat, beristirahat sejenak sebelum pulang ke kediaman masing-masing. Bercengkrama sejenak, menikmati oleh-oleh dari Garut yaitu dodol dan cerita selama perjalanan.


nb : ini tulisan yang belum mendapat sedikit perubahan dari editor web komunitas Aleut. Untuk melihat cerita sejarah dan cerita ngaleut lainnya dapat dilihat di web Komunitas Aleut. sedangkan untuk informasi mengenai penyerangan masjid Cipari bisa dilihat disini


Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...