Tuesday, November 24, 2020

Rantauprapat (Rumah) - Writing Challange (4/30)

Kalau ditanya sekarang tempat yang aku ingin kunjungi kemana, aku akan menjawab Rantauprapat. Tapi kalau 10 tahun yang lalu aku ditanya inginnya kemana, aku malah menjawab Jakarta. Yah begitulah, yang jauh terasa lebih menyenangkan.

Aku lahir dan tumbuh besar di Rantauprapat, jadi wajar jika aku merindukan kampung halamanku, terlebih aku sudah tidak tinggal di sana lagi semenjak lulus SMA. Jika orang bertanya aku orang mana, aku akan menjawab Rantauprapat, karena apa yang ada pada diriku saat ini, itu adalah hasil dari lingkungan pergaulan ku selama tinggal di Rantauprapat. Bahkan bahasa dan logat bicaraku pun masih khas Ranto. Walau terkadang aku mengaku sebagai orang Wonogiri, tapi itu pada akhirnya akan membingungkan orang yang bertanya karena gaya bahasaku bukan jawa sama sekali.

Jika aku ke Rantauprapat, sebenarnya tidak ada tempat yang begitu menarik untuk dikunjungi. Hanya saja orang-orang yang tinggal di sana dan kenangan yang aku miliki mendorongku ingin ke sana.

Pertama, aku akan ke Gp. Panah. Dari aku sudah bisa mengingat aku sudah tinggal di sana. Mulai dari umurku yang paling kecil, sekitar 3-4 tahun, aku tinggal di sebelah rumah si kembar. Baiklah akan aku ceritakan rumah mana saja yang aku tempati selama di Gg Panah. Mulai dari rumah awal aku bisa mengingat.


rumahku yang pertama, sudah tidak ada, sudah menjadi dua rumah. Rumah yang berpagar dan berkeramik hitam itu rumah si kembar, dari dulu bentuknya seperti itu. Kotak yang di tanah itu dulunya lapangan bulu tangkis, arena bermain kami tiap sore. Kini tampaknya jadi lapak jualan bensin orang.


Rumah ini kecil, hanya punya satu kamar, ruang tengah, dapur dan sumur di luar atau kamar mandi di luar. Sebenarnya ini adalah satu rumah yang dibagi dua. Di bagian rumah yang satu lagi, yang pintunya menghadap samping rumah di Kembar, diisi sama si Feri, cowok seusiaku yang punya adik satu, ibunya juga orang jawa, ayahnya orang Ranto. Dan dari apa yang aku dengar, ayahnya sangat benci ketika aku menangis dan tak bisa diam. Ayah si Feri, pernah menendangku karena suara tangisanku. Pintu rumah kami sendiri menghadap pintu dapur ibu xxx yang seingatku sangat baik. Ketika dia akan pindah, dia mengajakku jalan-jalan dengan mobilnya dan membelikanku jajanan di supermarket. Hal yang mewah saat itu. 

Ketika usiaku 3-4 tahun itu, aku seringnya bermain sendiri di depan rumah kami, aku bermain mobil-mobilan di antara bunga-bunga Mamak. Lalu aku masuk sekolah TK usia 4 tahun mengikuti si kembar. Usia 4 tahun sebenarnya usia yang terlalu muda untuk masuk sekolah, tapi agar aku ada kegiatan dan punya teman, Mamak menyekolahkanku lebih awal.

Kembali ke rumah, karena sumur kami di luar, kata orang-orang kadang suka banyak yang bersembunyi di balik semak-semak untuk mengintip kami mandi. Untung saat itu aku masih kecil. Tapi kasihan mamak :( 

Kemudian aku ingat saat ada beberapa pohon dan pohon kelapa yang di belakang sumur ditebang. Kami yang masih anak-anak merasa senang, karena merasa mendapat arena bermain yang baru. Kami main ulang tahun-ulang tahunan: berdandan untuk pergi ke pesta dan merayakan ulang tahun masing-masing teman bergantian, terkadang kami juga suka main rumah-rumahan, yaitu permainan membangun rumah dari daun-daun kelapa, menganggap itu seperti rumah kami sendiri. Lama kelamaan, arena bermain kami itu lenyap. Ditutup dengan tembok.

Ada kabar bahwa tanah itu telah dibeli oleh orang cina, untuk membatasi tanah miliknya, mereka membangun tembok.

main rumah-rumahan, gambar dapet dari fb

Tahun 1999 memasuki usiaku yang ke-6, saat sekolah SD ku telah punya bangunan baru, dan kami pindah dari bangunan lama ke bangunan baru yang telah bertingkat dua. Aku juga mengalami pindah rumah. Masih di Gg panah, kali ini letaknya di pinggir jalan raya. Sebelum di bangun tembok, sebelah rumah kami adalah semacam rawa. Ada tanaman genjer dan kangkung di situ. Kami sendiri sempat memiliki kebun tomat, cabai dsb sampai tanah itu dibeli dan dibangun tembok, kami hanya punya bunga bunga di dalam pot yang ketika malam suka dicuri oleh beberapa banci.

Rumah kami ini, sangat dekat dengan jalan raya, tapi letaknya sedikit berada di bawah, bukan hanya rumah kami, rata-rata rumah di pinggir jalan ini letaknya berada di bawah, berbeda dengan rumah yang di seberang jalan yang letaknya bisa sejajar dengan jalan raya. Kecelakaan pernah menimpa rumah wak Dammak. Ketika itu ada truk yang membawa sawit terguling, dan sawit-sawit itu menghancurkan bagian depan rumah wak Dammak. Seketika wak Dammak langsung merenovasi rumahnya menjadi dinding tembok dan bertingkat.

Dibanding rumah kami, rumah Wak Dammak ini memang sangat dekat dengan jalan Raya. Setidaknya kami punya jarak satu meter dengan jalan raya sebagai halaman. Rata-rata rumah di sana punya turunan yang cukup tajam sebagai jalan naik dan turun ke jalan. Kami sendiri punya tangga yang berada tepat di depan pintu.

Ada satu insiden yang sangat aku ingat mengenai halaman depan. Saat itu mamak lagi santai sore sambil melihat bunga-bunganya. Tiba-tiba ada hewan yang menggigit kakinya. Sangat kacauu aku tidak ingat bagaimana mamak bisa sembuh, yang aku ingat mamak pernah berobat di rumah wak Anik Soleh dengan orang pintar. Kata mereka hewan itu adalah kiriman orang. Entahlah, aku sendiri sebenarnya kurang percaya dengan hal mistis dan saat itu juga aku tidak diperbolehkan untuk melihat proses pengobatan. Sampai sekarang, bekas luka itu masih ada, dan masih suka menimbulkan gatal. Kaki mamak jadi jelek karenanya. Padahal dia mencari nafkah dengan itu.

Rumah kami yang di Pinggir jalan SM. Raja ini, suka banjir kalau hujan turun deras dan berlangsung lama. Entah karena ada tembok atau memang dari dulunya begitu. Bagian pojok kanan depan tembok, yang dekat dengan jalan raya, dilobang, karena ada aliran air di situ hingga ke sebrang jalan. Kadang aku suka masuk ke balik tembok itu, baik melalui lobang, atau memanjat melalui pohon ambacang yang di dekat sumur. Sekedar untuk melihat-lihat aneka tumbuhan apa yang tumbuh di balik tembok. Kadang ada juga orang yang mengambil kangkung dan genjer melalui lobang. Di halaman samping rumah kami ada jemuran, lalu di belakang di dekat sumur, ada pohon ambacang dan jambu air.

Jambu air ini buahnya bewarna putih dan gemuk, sayang semut hitam banyak sekali di pohon jambu ini. Di bawah pohon jambu, aku suka santai sambil tidur-tiduran di atas ayunan ketika siang pulang sekolah. Selain itu, aku juga suka main masak-masakan dengan teman-temanku. Tapi kalau sama kak Omma, main masak-masakannya adalah masak sungguhan. Lalu kami makan siang bersama di bawah pohon jambu air itu. Sedikit jorok sih, karena pohon jambu berada di dekat sumur dan juga wc kami. 

Mengingat pohon jambu ini, aku jadi ingat hal konyol yang aku lakukan dulu: 1. Aku pernah mengubur uang di bawah pohon dan berharap uangnya menjadi berlipat ganda. hhh 2. Bercocok tanam di dekat sumur yang tanahnya adalah tanah liat yang sangat keras. Setidaknya aku tahu, ternyata minat berkebunku sudah ada dari aku kecil.

Biar aku jelaskan seperti apa rumah yang aku tempati dulu. Rumah kami ini, masih berdinding kayu, lantai semen dan beratap seng seperti rumah kami sebelumnya. Rumah ini rumah tua, banyak bocor disana sini, tapi bu Pita si pemilik rumah, terkesan membiarkannya. Ukurannya lebih besar dari rumah sebelumnya. Ada 3 kamar, ruang depan yang luas (teras) ruang tengah, gudang, dapur, dan lagi-lagi.. kamar mandi masih di luar. Kemudian mamak membangun kamar mandi kecil di dapur, bukan bangunan kamar utuh, hanya sedikit tembok untuk membatasi agar air tidak meleber kemana-mana. Kami bisa mencuci piring dan mandi di situ, tapi kalau untuk BAB, kami harus melakukannya di luar. 

Kami memasang sanyo untuk menarik air, tapi sialnya kalau musim kemarau tiba, air sumur suka kering. Akibatnya, aku menjadi kuli air. Mengangkat air dari sumur rumah kami yang lama. Jaraknya sekiar 200m dan itu kulakukan hampir 3-5 kali balikan. sungguh kuat aku saat itu.

Karena rumah kami ini cukup besar, yang tinggal bukan hanya kami saja. Ada mendiang lek Sutiyem, tetangga Mamak di Jawa, dulu kami sering berantam dan kejar kejaran. Dia tidur di kamar depan. Kami di kamar tengah, dan sepertinya kamar ketiga masih menjadi ruang makan. Sekitar tahun 2005 anaknya mendiang lek Sutiyem bergabung bersama kami serta keluarga kecilnya. Mereka menempati ruang gudang yang berada di depan kamar ketiga yang telah menjadi kamarku ketika aku kelas 4 SD. Feri yang dulu sebelah rumah kami juga pernah tinggal serumah dengan kami, mereka tidur di kamar bekas lek sutiyem. Tapi kali ini wak Gonok ayahnya tidak ikut, dia sudah bercerai dengan mbk Sri. Dan yang sering di rumah hanya Feri dan si Ulan adiknya.

Kamarku adalah tempat ternyaman di rumah. Mamak kadang suka membeli buah seperti jeruk dan itu aku letakkan di tempat buah yang aku letakkan di atas meja lipat kecil di kamar ku. Aku menganggap buah itu untuk tamu. Kadang banyak tamu yang main ke kamar ku, seperti kak Reni temennya kak Omma, atau si Kembar yang suka melihat diri mereka di cermin rotan kamar ku, mereka juga suka bertengkar. Suatu hari mereka memperebutkan meja lipat kecil ku. dan yang menjadi korban adalah aku yang akhirnya ketiban meja kecil itu.

Aku punya rahasia dengan kamar tidurku ini. Salah satu jeruji jendela ada yang terlalu lebar, akibatnya tubuhku bisa keluar masuk. Kalau pintu terkunci dan belum ada orang, aku suka masuk melalui jendela, mengambil kunciku, membuka pintu belakang, lalu masuk lewat depan seolah-olah aku membawa kunci. 


rumahku yang ke-2
dari kami pindah ternyata masih hancur belum dibangun apapun. depan rumah bu xxx jadi warung tambal ban orang. tanaman kangkung dan genjer dan kangkung di balik tembok tampaknya sudah tidak ada, sudah kering kerontan.

Enam tahun di rumah pinggir Jln. SM. Raja, persis sesudah turunan jalan dari kantor golkar, itulah tempat tinggalku semasa SD, yang tinggal bersama kami hanya sementara, seringnya rumah itu hanya diisi oleh kami saja: Aku, Mamak, Kak Omma. Di rumah ini aku belajar menyapu sejak kelas 2 SD sama kak Omma. Harus dua kali bolak balik biar bersih ! belajar menyapu halaman, belajar mencuci piring, yang seringnya aku malah memecahkan piring, membuat kak Omma murka dan menghajarku dengan sapu hingga sapu itu patah. Kadang dia juga suka mencubit ku dan mengancam jangan sampai aku mengadu kepada Mamak.

Seringnya aku ingin ikut jualan saja sama mamak, aku enggak mau ditinggal di rumah. Kak Omma lah yang memisahkan aku dan Mamak. Kalau sudah begitu, aku suka lari ke rumah asli kak Omma, mengadu ke Wak Butet, mamak kak Omma. Dan dia sudah pasti membelaku dan aku merasa aman di sana daripada di rumahku.

Kak Omma memang seperti ibu tiri, tapi dia juga seorang kakak. Dia suka merayakan ulang tahun ku, walau kadang itu adalah hasil curiannya dari mamakku. Sebenarnya adalah wajar jika kami membagi pekerjaan rumah. Pekerjaan dia lebih berat. Dia harus mencuci dan menyetrika pakaian kami yang seringnya dia mengomel dan menuduh kami artis karena suka gonta ganti pakaian.

Tahun 2006, Kak Omma telah lulus SMA, sepertinya dia tidak akan tinggal bersama kami lagi. Aku juga sudah merasa bisa menyetrika karena aku sudah kelas 1 SMP. Ketika dia pergi, aku menyetrika diam-diam tapi ketahuan juga sama kak Omma karena ketika dia pulang, pintu terkunci, dan ketika dia mengintip dari lubang pintu, dia melihat aku sedang membereskan setrikaan. Melihat aku sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah, kak Omma akhirnya sudah tidak tinggal lagi bersama kami.

Dulu, aku sangat malu dengan rumahku ini. Aku tidak mau kalau teman sekolahku datang ke rumah. Hanya karena dia terbuat dari papan kayu, dan lantai semennya bergelombang alias tidak rata. tidak hanya itu, papannya juga berwarna kuning menandakan rumah kami sering kebocoran. Sampai suatu hari, atap teras kami telah terbuka. Saat itu bagiku tidak masalah, membuat rumah kami jadi terlihat lebih terang.

Sebelumnya teras itu memiliki jaring kawat di sebelah kiri depan, jadi kita bisa langsung melihat ke luar. Di sebelah kanan sendiri sepenuhnya tertutup dengan kayu. Dulu, sekitar aku kelas 2SD mamak sempat membuka warung di bagian teras yang ini. Tapi karena yang menjaga warungnya adalah aku dan kak omma, tentu saja usaha itu tidak berjalan. Satu lagi yang ku ingat dari warung kami adalah ketika aku menginjak kaca entah dimana, kaki ku langsung dimasukkan ke dlam minyak tanah bekas jualan. Kini bekas luka kaca itu masih meninggalkan jejak di kaki ku.

Setelah teras, lalu dapur kami yang kena gilirannya. Yang membongkar mengaku tidak sengaja. Saat itu memang mereka tengah membongkar rumah di sebelah kiri kami. Rumah bu xxx yang setelah mereka pindah, di isi oleh partai bulan bintang. Dulu kak Omma sering memainkan mesin ketik di sini. Lalu rumah itu kosong dan di bongkar. Saat pembongkaran rumah ini lah dapur kami juga ikut terbongkar. Tidak banyak sih, hanya bagian kiri yang berdekatan dengan bangunan partai, tapi itu akan sangat merepotkan jika hujan turun.

Mereka mengatakan, bahwa kami telah di usir secara tidak langsung. Rumah kami dan bangunan partai yang kosong telah dijual bu Pita ke orang Cina. Entah siapa yang mengusulkan, lalu kami tiba-tiba saja pindah ke gudang milik wak Dammak. Aku sangat haru dengan proses kepindahan kami kali ini. Karena banyak sekali yang membantu. Aku tidak ingat siapa saja, yang pasti mereka tidak sampai hati kalau kami keluar dari Gg Panah. Aku yakin mereka adalah orang-orangnya Wak Butet.


Lahan rumah wak Dammak dan si Jannah

ini sebenarnya jalan yang ada di belakang rumah si Jannah, rumah semasa SMP ku sudah menjadi bagian belakang ruko itu. Rumah di sebelah Gg adalah rumah wak Mawar, dimana jendela dapur kami mengarah ke pintu belakang rumah wak Mawar ini.


Jika aku malu dengan rumahku yang sebelumnya, seharusnya aku lebih malu lagi dengan rumahku yang ketiga ini. Tapi, entah kenapa aku merasa nyaman di sini. Setidaknya kami tidak kebanjiran. Oke biar aku jelaskan.

Seperti yang di ketahui, rumah ini adalah bekas gudang wak Dammak, dan wak Dammak sendiri bikin gudang baru di belakang gudang lama, atau rumah kami. Dinding rumah ini masih berbahan papan, dan bagian luarnya ditempeli seng. Mungkin tujuannya agar air hujan tidak langsung membasahi papan, tapi itu sungguh tidak aesthetic dan juga berisik ketika orang lewat sambil iseng mengetuk-ngetuknya. Kelebihan rumah ini adalah, kami tidak sendiri di pojok jalan. Kini kami berada di tengah. 

Arah jam 10 rumah kami ada rumah si Jannah, dulu rumah wak Butet menempel di dapur rumah si Jannah teman sepermainanku, tapi kemudian wak Butet punya rumah baru, dan rumah itu ditempati sama kak Bujing, kakak kak Omma. Arah jam 11 rumah wak Dammak, arah jam 12 rumah wak Ani Soleh, tempat kami numpang telepon, juga numpang menonton dulu, lalu di arah jam 3 ada rumah si Balqis, arah jam 9 ada rumah wak Ros yang suaminya ketua RT entah berapa puluh tahun, lalu jam 5 ada rumah si Yani, teman sepermainaku juga, dan terakhir, arah jam 6 ada sumur. Yah.. lagi lagi sumur berada di luar, dan kami harus bikin kamar mandi lagi.

Sebenarnya kami bukan berada di tengah, tapi di belakang rumah masing-masing yang ku sebutkan tadi. Tapi bukankah pemilik rumah lebih sering berada di belakang. :) Lanjut, setelah bagian luar rumah yang penuh seng, bagian dalam rumah memiliki 4 ruangan dan 3 jendela. 

Begitu masuk, kita langsung berada di ruang tengah, tempat ruang tamu, tempat kami menonton dan makan. ruangan kedua adalah kamar. Harusnya ada 2 kamar, tapi kami membuka papannya agar luas. Wak Dammak meninggalkan tempat tidur besi yang bisa kami pakai. Aku hanya sesekali saja tidur di tempat tidur besi itu. 2 jendela ada di kamar dan kamar kami adalah tempat paling adem. Tapi secara keseluruhan aku merasa rumah ini lebih sejuk daripada rumah sebelumnya. Kemudian dapur yang ketika jendelanya di buka langsung terlihat pintu belakang rumah wak mawar, dan kamar mandi.

Untuk bermain, aku sudah tidak perlu jauh-jauh, mereka kini ada dekat rumahku. Mereka suka bermain di halaman rumah kami, kadang maju sedikit di samping rumah si Jannah. Dulu saat malam, aku suka duduk-duduk di depan rumah sambil memandang ke langit. Ulang tahun ku yang ke-17 dilakukan di rumah ini. Mamak memasakkan makanan untuk teman-teman ku dan mereka memberikan aku hadiah. Aku tidak menyangka, padahal itu hanya pesta makan-makan saja.

Lalu, rumah wak Ani Soleh, rumah si Balqis dan rumah yang kami tempati dibeli orang Cina. Dari yang aku tahu, Wak Ani, mamak si Nia menjual tanah dan rumah mereka dengan salah satu bangunan ruko yang akan dibangun. Jadi saat pembangunan ruko itu, mereka pindah sementara. Balqis, membangun rumah lagi dekat sumur kami yang di belakang, dan kami sendiri, harus pindah lagi ke rumah Bu Inong. Sebenarnya itu bukan rumah Bu Inong, tapi bos tempat bu Inong kerja memperbolehkannya tinggal di sana.


Rumah Bu Inong sudah jadi ruko, dulu di lahan kosong ini ada pohon jambu biji yang suka aku panjat. Terlihat rumah wak Masreni masih tersisa. Dulu rumah Bu Inong juga seperti ini, hanya saja halamannya tidak begitu luas.

sepertinya warung ponsel Bu Inong ada di dekat pohon ini

Kami kembali lagi tinggal di pinggir jalan raya, tapi kali ini posisinya agak jauh dari turunan depan rumah kami yang dulu dan lagi rumah ini bukan terletak di pojokan. Jika sebelum-sebelumnya aku malu dengan rumah yang aku tempati, untuk kali ini aku boleh berbesar hati. Rumahku kali ini berdinding tembok, bukan papan lagi. Atapnya seng, tapi memakai asbes di langit-langit. Lantainya sudah bukan semen, tapi berlantai tegel hijau dengan gambar bunga. khas rumah tahun 90 an. Juga punya jendela kaca siang malam karena akan terlihat gelap jika dilihat dari tempat yang terang dan sebaliknya.

Jika kamu dari jalan raya, kamu akan melewati turunan yang tajam dulu sebelum sampai di teras. Seperti yang sudah aku jelaskan di atas. Begitu memasuki pintu rumah, kamu akan langsung melihat lemari besar yang berada di ruang tamu. Untuk ke ruang tengah, telah ada pintu yang tidak memiliki tutup, di sebelah ruang tamu adalah kamar utama, tempat tidur bu Inong dan keluarga. Ruang tengah adalah tempat kami menonton, sebagian ruang tengah, terdapat 2 kamar tidur, salah satunya adalah kamar tidur aku dan mamak. 

Selain pintu tak bertutup di depan, pintu tak bertutup bisa dijumpai lagi saat akan ke ruang makan. Ruangan ini sedikit kecil karena hanya di isi meja makan dan kulkas. Lalu ada pintu kayu menuju dapur dan kamar mandi, keluar pintu belakang, ada sedikit lahan untuk jemuran. Kalau sedang menjemur, harus hati-hati karena letak jemuran sejajar dengan dapur yang berada di atas. Untuk ke halaman belakang kita harus menuruni tangga. di halaman belakang ini ada jemuran lagi diantara pohon pisang. dan paling belakang rumah adalah tempat pembakaran sampah. Jika melewati pembakaran sampah, kamu akan menemui kolam kosong yang tidak di isi apapun. Memang walau dari jalan raya kita sudah turun, tapi semakin ke belakang kita akan semakin menurun lagi. 

Untuk pertama kalinya aku merasakan tinggal dengan orang. Sebelumnya memang aku sudah terbiasa tinggal dalam satu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, tapi saat itu posisinya kami lah yang menumpang di satu kamar. Sebenarnya bukan menumpang juga, kami membayar untuk tinggal di situ dan sebenarnya tidak buruk tinggal dengan keluarga lain, banyak hal yang aku pelajari, membuatku dewasa, dan membuatku merasa beruntung di rumah ini.

Bu Inong punya 2 anak, Aldi dan Alya. masing-masing berumur 11 dan 6 tahun saat aku tinggal disana. Otomatis aku menjadi anak yang paling besar di rumah itu. Bu Inong sendiri memanggilku kakak menandakan dia ingin aku menjadi kakak yang baik untuk anak-anaknya. Aku yang berperan menjadi anak bungsu, kemudain tunggal, kini harus menjadi sulung. Walau dari pihak Bapak aku adalah si sulung, tapi kami tidak pernah tinggal bersama.

Kami hidup akur di rumah itu, bu Inong sendiri menganggap kami adalah saudaranya. terkadang aku mengantar Aldy latihan bola ke ujung bandar, atau main ke rumah bibinya. Aku seolah memiliki motor lagi di rumah ini, walau ku akui, untuk memasukkan dan mengeluarkan motor harus memiliki keberanian yang besar karena curamnya jalan menuju jalan untuk masuk ke rumah.

Karena sudah seperti kemanakan dekat, bahkan keluarga bu Inong sendiri pun menjadi seperti keluarga kami juga. Mulai dari keluarga kakak bu Inong sampai keluarga adiknya. Aku pernah diajak ke Medan oleh adik bu Inong, sampai usiaku ke-18 tahun tinggal di Sumatera Utara, baru kali itulah aku pergi ke Medan. Kami bahkan menginap di Hotel dan bermain ke HillPark Sibolangit. Hal yang tidak mungkin bisa aku kunjungi dan beruntungnya lagi saat itu sedang sepi pengunjung jadi bisa bermain sepuasnya. Saat perpisahan SMA teman-temanku pergi ke Brastagi, tapi aku tidak bisa ikut karena tidak boleh menginap sama Mamak atau lebih tepatnya karena tidak punya uang.

Lain waktu aku diajak ke Pantai Cermin sama kemenakan bu Inong yang lain. Itu adalah kali pertama hidupku aku bermain ke pantai, dan beruntungnya lagi saat kami tiba adalah saat pantai surut. Hewan-hewan laut kehilangan airnya, pantai menjadi sangat luas. Saat itu kali pertama hidupku aku melihat ubur-ubur ahha. Selain itu dia bahkan memberikanku beberapa bajunya yang bagus-bagus. Sayang ketika baju itu ku tinggal di Jawa dan aku sedang berada di Jakarta, Baju-baju itu diberikan Biyung untuk saudaraku yang lain.

Selain saudaranya, Bu Inong sendiri memberiku pengalaman pertama yang lain lagi. Suatu waktu dia mengajakku ke Suzuya (mall Rantauprapat) dan makan di KFC bersama dengan 2 anaknya. Walau aku pernah jajan di KFC juga dengan teman sekolahku. Tapi makan di tempat bersama seperti keluarga adalah hal yang berbeda. Hari ini aku menyesal, kenapa saat aku menikmati kesenangan itu aku tidak mengingat Mamakku. Aku malah berfikir kenapa aku tidak bisa melakukan kesenangan ini dengan teman-teman ku. Huh dassar aku :(

Tentu bukan hanya materi, nasehat-nasehat dan pandangan hidup juga aku dapatkan di rumah ini. Bercengkrama dan melakukan obrolan, kadang aku dapatkan.

Umurku telah 18 tahun lebih, banyak kebahagiaan yang aku rasakan di rumah bu Inong ini. Mulai dari mendapat pacar pertama, mendapat kado spesial pertama, bahkan pekerjaan pertama hehe. Jadi bu Inong punya counter pulsa di depan rumah. Karena aku telah lulus SMA dan tengah menganggur, aku jadi mendapat pekerjaan tukang isi pulsa.

Saat akhirnya izajah SMA ku telah keluar, tidak ada lagi yang harus kami tunggu. Akhirnya tahun 2012 kami meninggalkan Rantauprapat untuk waktu yang lama. Saat itu banyak sekali yang mengunjungi kami, para tetangga di Gg panah termasuk juga keluarga dari wak Butet datang ke rumah bu Inong. Mereka mengucapkan salam perpisahan untuk yang terakhir kali. Mereka banyak memberikan kenang-kenangan berupa barang ataupun materi. Suasana sangat haru. Aku masih mengingat kebaikan-kebaikan mereka sampai sekarang. Kami juga berfoto, tapi hasilnya jelek karena hidung kami semua merah akibat menangis.

Kini rumah Bu Inong kosong. Karena saat sebelum kami pulang ke Jawa, Bu Inong tengah membangun rumahnya yang sesungguhnya di simpang mangga. Sebenarnya rumah wak Butet ada di belakang rumah Bu Inong, tapi itu sekarang juga sudah kosong. Mereka sudah menjual tanah mereka dan pindah ke dekat kuburan cina. Wak Ani soleh juga sudah tidak di Gg Panah lagi. Mereka menjual ruko mereka dan pindah ke Aek Tapa. Begitu juga rumah si Jannah. Baru-baru ini mereka menjual rumahnya dan membangun rumah lagi di simpang mangga. Kepindahan-kepindahan ini membuatku merasa releated dengan drakor Replay 1988

Banyak yang sudah keluar dari Gg Panah, banyak juga yang masih di sana. Jadi, jika aku ke Rantauprapat lagi, setelah ke Gg Panah aku akan bermain ke rumah-rumah orang yang dulunya tinggal di Gg Panah dulu. Lalu ke sekolah-sekolahku, dan tempat-tempat yang sering aku kunjungi dulu. oh rindunya...

foto tahun 2003, saat aku kelas 3SD dan kak omma lulus SMP. Dalam rangka menghabiskan film yang ada di sustel temen kak omma. Ada juga foto aku pura-pura ulang tahun T.T

Wednesday, November 11, 2020

Cerita Anne Frank


cover catatan harian Anne Frank terbitan Jalasutra

Aku baru saja mendengar cerita dari Anne Frank, tapi aku tidak mendengarnya secara langsung. Aku diam-diam membaca buku hariannya. Aku begitu penasaran dengan buku harian orang yang tergeletak begitu saja. Kau tahu kan, buku harian itu biasanya bersifat sangat rahasia. Aku juga menyimpan beberapa rahasiaku di sebuah catatan agar hatiku menjadi lega. Tapi karena catatan Anne ini bukan milikku, aku diharuskan menceritakan lagi mengenai Anne Frank padamu.

Anne Frank ternyata adalah seorang Yahudi. Mereka pindah tahun 1933 ke Holland mengikuti ayahnya bekerja sebagai direktur di Dutch Opekta Company yang memproduksi bahan-bahan pembuat selai. Jika mereka berada di Jerman, mereka semua sudah mati di bawah kekuasaan Hilter. Di buku harian ini Anne menceritakan bagaimana mereka bersembunyi dan bertahan hidup setidaknya sampai perang usai. Anne menulis buku hariannya selama setahun setengah (1942-1944)

Seperti pada umumnya, seseorang akan memulai menulis buku hariannya mengenai awal pertemuan mereka. Anne memberi nama buku hariannya Kitty, katanya, kertas memiliki kesabaran yang lebih ketimbang manusia" makanya dia lebih memilih menceritakan segala hal kepada Kitty.

Awal Anne menemukan Kitty saat ulang tahunnya yang ke-12. Sepertinya, Anne benar-benar menyukai Kitty, dia menceritakan segala hal pada Kitty, mulai dari kegiatannya di sekolah hingga sifat-sifat temannya. Rupanya Anne memang seorang pengamat, dan sangat perhatian pada teman-temannya. Anne tidak segan-segan menceritakan keburukan temannya pada Kitty. 

Selain teman-teman Anne juga bercerita mengenai gurunya, dan bagaimana nakalnya dia di sekolah. Anne ternyata anak yang cerewet, dia mengaku suka bercerita di kelas hingga mendapat hukuman, dia juga mengaku mempunyai banyak pengagum. dia begitu narsis. Selain itu, Anne juga mengeluhkan diskriminasi yang menimpa orang Yahudi seperti dirinya kepada Kitty.

Suatu hari, rumah mereka mendapat surat panggilan yang berarti cepat atau lambat  mereka akan dikirim ke kamp konsentrasi. Untuk menghindari itu, mereka bersembunyi di Kantor ayah Anne yang berada di 236 Pringsengracht dan mereka menyebut tempat persembunyian mereka secret Annex. Mereka tinggal di Annex dibantu oleh tuan tuan Kugler dan tuan Kleiman. Anne menyebut mereka penyelamat mereka. Alasan mereka bersembunyi di kantor karena hanya ada sedikit pekereja di sana yaitu tuan Kugler, tuan Kleiman, Miep dan Bep Voskuijl.

Denah Secret Annex

Semenjak di tempat persembunyian, Anne menjadi lebih banyak menulis, dan dia ingin Kitty tahu apa yang tengah dialaminya. Anne menjelaskan secara rinci tempat persembunyian mereka. Ternyata yang tinggal di Annex bukan hanya keluarga Frank, tapi juga keluarga Van Daan. Tuan Van Daan adalah rekan bisnis papa Anne, dia membawa istrinya dan putranya Peter yang berusia 16thn . Saat mereka makan bersama untuk pertama kalinya, Anne merasa bahwa mereka bertujuh adalah keluarga. Mereka bercerita bagaimana keluarga Van Daan membuat gosip dengan hilangnya mereka dari rumah.

Awalnya Anne merasa senang karena di Annex bukan hanya ada keluarga mereka. Tapi lama kelamaan Anne mulai terganggu dengan ocehan atau omelan para orang dewasa. Anne sangat tidak menyukai Nyonya Van Daan karena banyak hal, salah satunya karena dia selalu berkomentar bagaimana seharusnya orang tua Anne mengasuh Anne. Anne sampai menyebut wanita itu bodoh dan tolol kepada Kitty. Anne sangat berterus terang pada Kitty, tapi dia akan mati kalau sampai Kitty dibaca orang lain.

Selain Nyoya Van Daan, Anne juga tidak menyukai Ibunya. Anne merasa ibunya tidak memahaminya begitupun sebaliknya. Anne merasa ibunya lebih menyayangi Margot kakaknya yang lebih pintar dan cerdas. Anne merasa, hanya Ayahnya yang memahaminya. Anne lebih menyukai Ayahnya daripada Ibunya.

Bayangkan di masa pandemi sekarang ini, kita harus tinggal di rumah untuk karantina diri, tinggal dengan orang serumah yang biasanya kita hanya bertemu beberapa jam saja dalam sehari, atau pergi bersenag-senang ketika libur tiba. Ada banyak di berita yang menyebutkan banyak kasus KDRT selama pandemi, dan masalah keluarga lainnya yang karena banyaknya waktu bersama, malah menimbulkan banyak ketidakcocokan.

Begitulah yang dialami Anne, bayangkan, dia tidak keluar Annex selama setahun setengah lebih. Aku saja yang tidak keluar selama satu bulan sudah bosannya setengah mati. Ada banyak ketidakcocokan yang muncul, banyak pertengkaran, tapi Anne bilang para orang dewasa menyebut itu diskusi. Anne bahkan mengaku lupa rasanya bagaimana tertawa, maksudnya tertawa terbahak bahak. Walau keadaan begitu, Anne masih merasa bersyukur. Setidaknya mereka masih bisa hidup dengan tenang. Dibanding dengan orang Yahudi yang lain yang harus tinggal di kamp konsentrasi atau yang lebih parah jika dikirim ke ruang gas beracun.

Kemudian Annex memiliki anggota baru, seorang dokter gigi bernama Dussel. Anne senang berbagi kamar dengan Dussel. Lagi, lama kelamaan Dussel terasa menyebalkan bagi Anne. Dan lagi Dussel sering melakukan hal membahayakan mereka dengan tetap berkirim surat dengan orang luar.

Warga Annex suka mendengarkan radio untuk mengetahui perkembangan politik. Anne menceritakan pada Kitty bagaimana pandangan politik masing-masing dari mereka. Anne sedikit kesal karena suara anak kecil sepertinya tidak akan didengar, padahal Anne juga memiliki pemikiran yang kritis.

Karena hanya di rumah, Anne hanya menceritakan masalah rumah tangga pada Kitty. Bagaimana warga Annex menjaga kewarasan mereka dengan belajar dan membaca, sesekali dia bercerita perkembangan politik seperti menyerahnya Italia, tapi kebanyakan dia bercerita mengenai dirinya sendiri, mengenai kesukaan Anne pada keluarga kerajaan Inggris, dan segala sudut pandangnya pada semua warga Annex. Harap dipahami, bahwa catatan ini adalah dari sudut pandang Anne. Sekilas kita akan menganggap bahwa Anne ada di pihak yang benar, tapi mungkin tidak seperti itu.

Tahun baru 1944 seperti yang banyak dilakukan orang, Anne meriview hidupnya. Anne membaca lagi apa saja yang sudah diceritakannya pada Kitty. Anne menyadari ketika dia mengeluhkan tentang Ibunya ataupun Nyonya Van Daan itu adalah tidak benar. Anne menjelaskan kalau dia menulis catatan dengan kondisi mood yang berbeda-beda. Anne mencoba lebih dewasa di usianya yang ke-14. Tapi Anne tidak ada bercerita mengenai resolusi hidupnya. Yang mungkin menjadi harapannya hanya kapan perang usai dan mereka bisa bebas keluar dari persembunyian.

Maret 1944 adalah tahun dimana Anne paling sering menulis. Dia tengah jatuh cinta dengan salah satu warga Annex: Peter. Di tengah kedepresian dan kecemasan yang menimpanya ketika tinggal di Annex, ada satu yang menjadi sumber semangatnya. Anne sering mengunjungi Peter ke kamarnya untuk bercerita. Awalnya Anne takut itu mengganggu Peter tapi ternyata Peter tidak merasa terganggu sama sekali.

Mereka sering cerita-cerita di kamar Peter, di loteng. Usai makan malam, warga Annex yang lain sering bercanda mengatakan kalau akan ada pernikahan di Annex, tapi Anne tidak menghiraukan itu. Begitu pula dengan Margot yang sepertinya juga menyukai Peter. Anne tidak mau ambil pusing.

Anne dan Peter sering membicarakan orang tua mereka, bagaimana Anne yang cerdas dan periang, dengan Peter yang minderan dan suka menyendiri. Anne selalu merasa senang tiap dia bisa membantu Peter ketika orang tua Peter bertengkar. Memang, ada banyak pertengkaran di Annex, mulai dari masalah makanan, berbeda pendapat, keuangan, dsb.

Ada banyak kekhawatiran dan kecemasan mereka. Untuk makan, mereka mengandalkan kupon dari pasar gelap. Ketika penyuplai kentang mereka tertangkap, maka warga Annex tidak bisa makan kentang. Mereka banyak makan makanan kaleng, keluarga Van Daan sering menyembunyikan atau mengambil jatah makanan lebih banyak karena Nyonya Van Daan yang menyiapkan makanan.

Anne bercerita bagaimana uang cash mereka yang berada di kotak, sudah kelihatan dasarnya, tuan atau nyonya Van Daan yang ingin sekali menukar jass dan bajunya. Tapi sayang, di masa perang, tidak ada yang mau membeli jass.  Sudah sulit begitu, tuan Van Daan malah tidak bisa menghentikan kebiasaan merokoknya. Ditambah beberapa kali mereka kemalingan sehingga merugikan mereka, dan yang lebih parah kemalingan itu menyebabkan polisi curiga dengan keberadaan mereka di balik rak buku 236 Pringsengracht. 

Di bagian tengah buku, aku terkejut ketika melihat beberapa gambar. Gambar-gambar itu membuat segala yang diceritakan Anne menjadi nyata. Mulai dari foto pernikahan orang tua Anne, keluarga Anne, keluarga Van Daan, Dussel, Peter, Secret Annex, tuan Kugler, bahkan pembantu mereka Miep dan Bep.

Pada akhirnya aku tahu, warga Annext tertangkap, dan masing-masing mereka dikirim ke kamp konsentrasi. Margot dan Anne meninggal di kamp/penjara karena epidemi tifus yang menyebar di musim hujan tahun 1944-1945 yang menewaskan ribuan tahanan. Satu-satunya yang warga Annex yang berhasil hidup adalah ayah Anne, Otto Frank. Dia lah yang menyusun catatan Anne ini hingga diterbitkan. Awalnya bagian dia menjelek-jelekkan orang lain tidak ditunjukkan. Tapi apa yang aku baca ini adalah versi lengkapnya. Aku membaca semuanya.

Kertas catatan harian Anne sendiri ditemukan oleh Miep dan Bep selang beberapa hari setelah mereka tertangkap. Setelah perang usai, mereka meyerahkan catatan itu kepada Ayah Anne, Otto Frank. Anne memang ingin catatan hariannya bisa diterbitkan, saat itu dia mendengar radio di London yang menyiarkan pidato Gerrit Balkestein  yang mengatakan ingin mengumpulkan catatan saksi sejarah penderitaan rakyat Belanda semasa penjajahan Jerman. Catatan yang dimaksud termasuk yang berbentuk buku harian. Setelah itu Anne merevisi catatan hariannya dan menulis ulang. Selain buku harian, Anne juga suka menulis cerpen.

Cita-cita Anne adalah ingin menjadi wartawan. Usianya yang 14 tahun, dia sudah mengerti tentang emansipasi pada wanita, suasana politik yang terjadi, juga pengetahuan tentang seks yang mana pada saat itu pembahasan seks masih tabu untuk dibicarakan. Anne memang anak yang cerdas berkat banyak melahap buku. Selain membaca buku, dia juga pandai membaca keadaan sekitar. Pemikirannya yang kritis, dan menurutku wajar jika buku harian Anne ini menjadi banyak hingga bisa aku temukan tergeletak di negeri jauh dari Holland atapun Frankfurt.


Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...