Di akhir film Meimei (Cut Mini) berkata, bahwa fisiknya memang sakit, tapi batinnya terasa tidak pernah sesehat ini. Yah, mei mei memang sedang mengalami sakit kanker, dan dia sedang menikmati sisa-sisa hidupnya. Awalnya dia menutupi penyakitnya dari teman-temannya, seolah sedang berlibur di suatu pulau, yang nyatanya sedang menjalani pengobatan. Hingga akhirnya teman-temannya tau dan memutuskan untuk menyusulnya ke pulau tersebut.
Arisan 2 (2011) bercerita mengenai kisah reuni para pemain film Arisan (2003). Seperti Arisan sebelumnya, film ini penuh dengan keglamoran, gaya-gaya hidup para sosialita Ibu Kota. Banyak diselipin kisah LGBT dan cerita absurd dengan kemunculan geng sosialita sebelah, bahkan hubungan Meimei dengan dokter Tom (Edward Gunawan) dan Moli (Adinia Wirasti) juga Absurd menurut saya.
Film diawali dengan suntik botox yang dilakukan oleh dokter kulit Joy (Sarah Sehan) kepada teman-teman geng nya. Orang-orang begitu takut menjadi tua, sementara kematian, bisa datang kapan saja. Disini saya tidak ingin membahas cerita LGBT yang diselipkan dalam film ini melainkan lebih ke kisah menikmati hidup ala Meimei.
Walaupun dalam dunia nyata, bila saya menjadi Meimei, saya tidak yakin apakah saya bisa menikmati hidup seperti dia atau tidak. Masalahnya adalah ekonomi. Bagaimana bisa saya melunasi tagihan-tagihan pengobatan, sementara saya tidak bekerja untuk menikmati hidup di sebuah pulau. Meimei beruntung, yang mungkin dia mempunyai pekerjaan yang bagus, yang bisa mengcover biaya hidupnya selama dia tidak bekerja. Juga memiliki teman-teman yang baik, yang bersedia mengantar jemputnya dan menjaga anaknya. Lah kalau saya ?
Tapi disini saya ingin mencoba menarik sebuah garis atau kesimpulan, benarkah akan menjadi lebih bahagia bila memikirkan tentang kematian ?
Selang sehari hari setelah menonton Arisan 2 saya kebetulan membaca sebuah artikel Vice https://www.vice.com/id_id/article/wj4a9b/bermeditasi-tentang-ajalmu-bisa-mendatangkan-kebahagiaan?utm_source=viceidtw “Bermeditasi Tentang Ajalmu bisa mendatangkan Kebahagiaan”. Memang dalam artikel disebutkan pula bahwa meditasi ini juga memiliki konteks, seperti hal ini tidak baik bila dilakukan oleh anak kecil juga orang yang mengidap trauma atau ketidakstabilan psikologis.
Baik, katakanlah kita adalah kategori normal. Akankah kita bisa tetap bahagia dengan bermeditasi tentang kematian ? seperti yang dilakukan Meimei dia sering kali bermeditasi bahkan dia sangat tertarik dengan cara hidup Budhis, Meimei sangat terkagum dengan perayaan Waisak di candi Borobudur. Bukankah yang dilakukan Meimei ini sangat mirip dengan anjuran di artikel vice.
Kapan-kapan saya ingin menjawab dari artikel vice ini, sementara saya menyalinnya dulu disini. Ini bukan sepenuhnya meditasi, yang akan saya lakukan adalah mencoba menerima kenyataan bahwa kematian pasti terjadi.
Lengkapi kalimat-kalimat berikut :
. kalau saya memiliki satu tahun tersisa untuk hidup, saya akan …
. kalau saya memiliki enam bulan tersisa untuk hidup, saya akan …
. kalau saya memiliki satu bulan tersisa untuk hidup, saya akan …
. kalau saya memiliki satu minggu tersisa untuk hidup, saya akan …
. kalau saya memiliki satu hari tersisa untuk hidup, saya akan …
Baca responmu dan jawab pertanyaan-pertanyaan ini :
Jujur, saat ini saya terasa belum
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, saya merasa belum siap pada sesuatu
yang pasti akan terjadi itu. Belum lagi baru-baru ini terdengar mengenai
kematian mendadak suami BCL akibat serangan jantung. Kemudian sekarang tengah pandemic
yang mana virus covid-19 tengah menyerang dunia, korbannya sampai puluhan ribu.
Ya kematian mendadak memang sering terjadi, tidak terkecuali menimpa diri kita
sendiri. Yang coba kita lakukan adalah mempersiapkannya dan menerimanya.
No comments:
Post a Comment