Thursday, August 13, 2020

Wedding Story 20200313 : Hari Resepsi yang Tidak Sesuai Ekspektasi (4/4)

ekspektasi : pesta kebun dengan kerabat dan teman dekat.

Sebenarnya awal maret pemerintah telah mengumumkan bahwa di Indonesia sudah ada yang positif Covid-19, dan penyebarannya sungguh sangat cepat. Dari acara akad kami tanggal 13 maret masih adem ayem, tanggal 16 maret keadaan semakin genting dan kasak-kusuk karena semakin banyaknya korban. Bahkan di Wonogiri pun sudah ada yang meninggal usai menghadiri acara seminar di Bogor.

Akhirnya aku minta agar di Wonogiri acaranya diundur saja, toh acara akad sudah selesai. Tapi ibuku masih menganggap enteng dan ingin agar acara tetap dilaksanakan supaya semuanya selesai. Lagian katanya dia sudah pesen ini itu dan sudah belanja bahan makanan juga. Sebelumnya aku juga minta tante yang di Jakarta jangan ke Wonogiri dulu aja, tapi hari rabu dia sudah sampai Wonogiri.

Memang, Wonogiri masih aman dari corona, tapi masalahnya kami membuat suatu keramaian. Akan ada banyak orang yang berkumpul, datang darimana saja. Bisa saja saat dalam perjalanan ke Wonogiri kami telah tertular dan di Wonogiri malah menularkan banyak orang, apalagi jika yang tertular itu yang kondisi tubuhnya lemah. Sebelum ke Wonogiri atau sebelum acara aku terus saja berdoa semoga tidak ada yang terkena penyakit corona usai menghadiri acara kami. Semoga semua sehat-sehat saja.

Seharusnya acara pernikahan aku dan Irfan skitar bulan Juni, usai lebaran idul fitri. Tapi karena menurut kami itu terlalu lama, maka disepakatin lah menjadi bulan maret. Alasan akan dilakukan bulan Juni karena musim hujan baru datang bulan januari. Dan benar saja sebelum hari H, hujan terus saja turun.

Begitu kami sampai Wonogiri, kami langsung ke rumah bu Vita, bidan di desa kami untuk cek suhu. Karena normal, kami bisa melanjutkan aktivitas. Pertama-tama kami ke vendor nikahan yang ngurusin plaminan dan riasan, btw ini ibu ku ambil paket, udah sama dokumentasi sekalian. Kami fitting pakaian yang akan digunakan, ada 2 pasang pakaian yang harus kami pilih. Formal (adat) dan santai (gaun). Sebenarnya aku kurang suka dengan gaunnya, terlalu ribet dan heboh, tapi gak ada pilihan lagi hiks dan juga aku gagal pakai hena karena yang masangin takut tertular covid.

Setelah itu aku lanjut membungkus seserahan ke salon dekat rumah. Sebenarnya ini mepet tapi dia mau juga menerimanya, tapi dia tidak mau menyebutkan harganya. Saat diambil, aku dan ibu ku ngomel ngomel karena harga jasanya sampai Rp. 500.000 untuk 7 barang. Dan yang bikin kessel, lagi-lagi dokumentasi kurang berguna, momen gak dapet. Gak ada dokumentasi keluarga Irfan membawa seserahan itu. Padahal aku dan Irfan sudah capek-capek belanja di Bandung, bawa ke Wonogiri, dan bawa lagi ke Bandung.

Begitu kami kembali, pelaminan sudah dipasang, menurutku terlalu besar sih, agak sayang.. mengingat sepertinya takkan ada yang datang. Kakak yang di Bekasi tidak bisa datang karena bos suaminya tidak mengizinkan, saudara yang di Jakarta juga sama, kecuali lek miyem dan mbok dhe, karena mereka sudah ke Wonogiri lebih dulu. Kak Omma yang di Rantauprapat juga tidak jadi datang, padahal sebelumnya sudah heboh untuk pesan tiket pesawat. Begitu pula dari keluarga Irfan, yang tadinya mereka akan pesan mobil Hiace untuk rombongan, jadinya hanya pesan satu mobil biasa saja untuk teh Ucu dan teh Ima yang masing-masing bawa bocah si Tiara dan Azfa. Tambah sopir, total mereka yang datang hanya 5 orang yang tadinya hampir 15 orang.

Sehari sebelum acara, bolak-balik orang dari Puskesmas Girimarto melakukan penyuluhan covid. Bahkan belakangan ada yang bilang, kalau saat itu tenda-tenda sudah hampir disuruh bongkar, tidak boleh melakukan acara. Tapi dengan syarat menerapkan protokol kesehatan, acara kami akhirnya dapat terlaksanakan. Dengan menyediakan tempat cuci tangan di pintu masuk dan keluar, tidak bersalaman, hanya namaste namaste aja, juga melap kursi dan barang-barang yang ada di situ dengan cairan disinfectan sebelum digunakan di hari H.

Malam minggu, katanya ada pengajian. Dalam imajinasiku, aku kira aku juga ikut mengaji seperti diacara pengajian orang-orang. Tapi ternyata pengajian di sini berbeda. Yang mengaji hanya pak Ustad dan ditemanin sekumpulan ibu-ibu pengajian main nasid. Padahal dulunya, aku ingin ibu-ibu pengajian ini bermain nasid saat aku keluar masjid dekat rumah usai melangsungkan akad. jadi malamnya murni ngaji, memuji dan berdoa kepada Allah Swt.

Hari resepsipun tiba, aku dirias selama 3 jam dengan hasil yang menurutku cukup menor. Begitupula dandanan ibuku. hiks kasihan sekali dia. Acara resepsi juga hanya berlangsung singkat. Hanya acara adat jawa, ketemu maneten lalu dilanjutkan dengan foto bersama. total acara hanya 3 jam saja setelah itu, langsung bubar. Lanjut mantennya bersih-bersih usai acara haha..

Yaa karena acara di Jawa, para tamu banyakan adalah tamu Ibu ku, bukan tamu kami berdua. Bahkan kadang tamu gak tau tuh mantennya yang mana. Karena H-3 tenda sudah dipasang, para tamu sudah silih berganti berdatangan ke rumah dari H-3 bahkan H+ setelah acara inti yang hanya 3 jam itu.

Aku senang sih, mereka cukup aware dengan covid-19 ini, dan pemerintah juga gencar sosialisasinya, sehingga mereka sadar. Alhamdulillah sampai bulan agustus ini, aku gak denger kabar ada yang meninggal karena covid di kampung kami.

Alhamdulillah semua acara tentang pernikahanku sudah beres. Bisa membahagiakan Ibu karena anaknya sudah seperti orang-orang (merayakan hari pernikahan) walaupun uangnya dari kami juga wkwk tapi tentu saja tenaga dan jasanya dalam mempersiapkan acara jangan dilupakan. Sedikit sedih karena saudara-saudara sepupu, bocil-bocil, teman-teman yang dikenal tidak bisa hadir di acara kami. Tapi sekali lagi, yang penting semua sudah beres. karena per hari senin, tanggal 23 maret. sudah tidak diperbolehkan melakukan acara apapun lagi. PSBB dimulai.


  

Realita : jadi kaya main lenong, jadi tontonan dan makeup nya tebel bgt cuyy wkkw


Thursday, August 6, 2020

Wedding Story 20200313 : Hari Akad (3/4)

poster nikah buatan Aud


Entah karena makanan apa atau karena fikiran, sehari sebelum akad Maddam gout alias asam urat menghampiri Irfan. Malam hari dia harus sendirian ke rumah sakit karena kakaknya, juga suami kakaknya sedang tidak enak badan. Kakak Irfan, Teh Ucu, kakinya keseleo, sedang  rumahnya tingkat 2, dia lah yang mengurus pernikahan kami, mulai dari administrasi hingga catering dadakan. Sebelum acara hingga selesai acara. Menemani Irfan belanja kostum akad nikah, beli makanan yang akhirnya dicuri kucing, dan kesusahan lainnya. Dia menceritakan semua saat kami bertemu sambil tertawa.

Bukan cuman Irfan, H-1 aku juga belanja untuk kostum akad. Tadinya aku hanya akan memakai kain untuk seserahan yang belum dibungkus dan baju putih baru, tapi karena terlalu biasa, akhirnya aku membeli baju kebaya murahan saja. Toh baju ini hanya sekali saja aku pakai.

Keesokan paginya, rombonganku pergi ke Sukabumi. Sedikit aneh, karena seharusnya rombongan pria yang mendatangi mempelai wanita. Tapi kalau dilihat lagi, sebenarnya keluarga Irfan juga dominan berada di Jampang, jadi sebenarnya kami bertemu di tengah.

Kami  jalan sekitar jam 6 pagi, sampai Sukabumi sebelum lohor/jumatan. Awal keberangkatan perjalanan lancar dan kondisi jalan cukup legang, namun begitu keluar tol, kemacetan langsung menemani. Aku merasa cukup bersalah pada rombonganku karena merasa telah menyusahkan mereka, dan berharap kalau suatu saat kami melakukan perjalanan Jakarta- Sukabumi lagi, proyek tol Jakarta-Sukabumi sedah selesai, jadi kami tidak perlu bermacet-macetan lagi.

Acara akad berlangsung di kantor KUA Cikole usai jum’atan. Memang, aku menginginkan acara yang sederhana, tapi sebenernya ya gak di KUA juga sih, minimal di Masjid gitu agar terasa sakral. Tapi memang karena acara sudah mepet jadi udah gak sempat lagi mengurus ini itu. Apalagi acara yang di Wonogiri tetap akan berlangsung menjadi acara resepsi saja.

 

Usai akad, kami kembali ke rumah Teh Ucu untuk makan siang, dari KUA telah hadir pula teman-teman dari Komunitas Aleut, teman kerja Irfan, dan keluarganya yang dari Jampang. Dari awal, walau melakukan acara yang sederhana, aku ingin sekali momen kami itu terdokumentasi dengan baik. Sayangnya saat acara akad berlangsung, hal itu malah tidak terfikirkan olehku. Saat acara makan di rumah teh Ucu, aku telah memasang backdrop di lantai 2 tapi tidak ada yang mau naik ke atas untuk berfoto bersama, katanya nanti aja saat di Wonogiri saat acara resepsi.

Dan sebenernya, usai acara akad, aku ingin kami mampir ke studio foto dulu untuk mengabadikan momen. Tapi karena memang sudah jam makan siang, apalagi para tamu usai melakukan perjalanan panjang. Rasanya akan egois jika hanya mementingkan dokumentasi. Jadilah saat akad hanya ada dokumentasi dari teman-teman komunitas Aleut dengan foto-foto seadanya.

Sekitar jam 2 rombonganku kembali ke Jakarta dan keesokannya ibuku akan lanjut ke Wonogiri untuk mengurus acara resepsi. Aku tidak ikut pulang dengan mereka karena kini aku telah sah menjadi istri Irfan. Aku tambah merasa bersalah kepada mereka karena mereka tiba di Jakarta hampir larut dikarenakan saat sore adalah jam pulang para karyawan pabrik.

Semakin sore, tamu-tamu yang lain juga ikut pulang, kecuali teman dari Komunitas Aleut karena esok harinya mereka akan melanjutkan perjalan momotoran dan kami berdua akan balik ke Bandung, hari senin, aku masih harus kerja. Karena sebenarnya teman-temanku taunya pernikahan kami tanggal 22 maret, bukan 13 maret. Belakangan mereka semua mengerti kalau acara akadku harus maju seminggu lebih cepat. Bukan karena aku ada masalah dengan mereka sehingga tidak memberi kabar.

Memang, aku belum menyebar undangan pernikahan kami. Lagian aku tidak menyetak undangan karena di Wonogiri sudah cetak undangan. Undangan kami dibuatkan oleh Audy berformat image atau foto, itu juga hanya sebatas pemberitahuan saja, bukan undangan formal. Karena kami tahu, mereka tidak mungkin akan datang jauh-jauh ke Wonogiri.

Karena acara akad sudah terlaksana, kami sudah santai. Tidak perlu buru-buru ke Wonogiri. Namun diluar rencana kami, hari senin berita covid-19 sudah semakin menyebar.









Wednesday, August 5, 2020

Wedding Story 20200313 : Cobaan Sebelum Pernikahan (2/4)

Memang aku salah, bagaimanapun seharusnya mengurus administrasi pernikahan itu  minimal 3 bulan sebelum hari H, karena dokumen-dokumen yang kamu urus itu hanya akan berlaku sampai 3 bulan kedepan. Eh ini aku malah sebulan sebelum. Mana Ibu di Wonogiri udah pesen ini itu buat nikahan aku, terus desak biar urusan cepat beres, sementara aku bingung harus beresinnya gimana.

Untuk mensinkronkan semua dokumen, aku harus mengajukan sidang ke pengadilan dulu. Itupun, baru akan selesai setelah berbulan-bulan, belum lagi aku harus sidangnya di Jakarta karena KTP masih domisili di sana. Memikirkan bolak-balik bdg-jkt saja rasanya sudah pusing. Belum lagi aku ngurusin pindahan rumah. Karena memang kami berencana untuk mengontrak. Jadi sebelum nikah, aku udah menempatin rumah kontrakan sendiri. Terhitung dari awal bulan maret.

Aku pernah coba datang ke Pengadilan yang di Bandung, ya siapa tau saja semua proses sinkron dokumen-dokumen itu bisa dilakukan di Bandung. Tapi yang ada dari ruang konsultasi sampai balik lagi ke kantor (btw aku ke pengadilan selesai makan siang jam kantor) sambil hujan-hujanan aku menangis. Mereka hanya bisa menyarankan agar aku mengurus surat pindah saja ke Bandung, jadi aku tidak perlu bolak balik Bdg-Jkt. Tapi tetap saja waktu yang dibutuhkan tidak sebentar,

Gak tau, waktu itu rasanya sedih aja, kok susah bangeet, git lho. Aku sebenernya jauh-jauh hari udah prediksi bahwa urusan administrasi ini akan sulit, udah niat semua mau diselesaikan dengan uang. Tapi dia bilang, kita mau memulai sesuatu yang baik, maka prosesnya juga harus dilakukan dengan jujur dan baik.

Tetap saja, aku bener-bener ngrasaiin yang namanya buntu dan putus asa. Mau usaha tapi gak tau harus gimana. Cuman bisa perbanyak istighfar, mungkin memang kurang ibadah, atau ibadahnya kurang bener, kurang doa. Ingat lagi cerita beberapa temen yang mendapatkan cobaan sebelum pernikahannya. Kata-kata yang aku ingat : “ ya pernikahan itu memang sebuah ibadah, ada pahala di dalamnya, jadi untuk mencapainya juga gak mudah. Ada aja cobaannya”.

Dan Alhamdulillah, kami berdua bisa melaluinya,

Ada murid ayah Irfan yang bekerja di KUA Sukabumi, kebetulan kakak Irfan kenal, maka diuruslah pernikahan kami di sana: di KUA Cikole Sukabumi. Tapi ya gak semudah itu, aku harus urus lagi surat numpang nikah di Jakarta dengan perubahan tempat. Mulai lagi dari awal.

Tapi karena jatah cutiku sudah habis, aku minta tolong dengan orang rumah yang di Jakarta untuk mengurusnya, karena waktu kami mengurus yang pertama, ada juga yang berkas-berkasnya diurus oleh ibunya, bukan dengan yang bersangkutan langsung. Tapi karena orang rumah yang di Jakarta juga pada sibuk, akhirnya urusan administrasi itu diserahkan pada teman Mas Anto yang kebetulan seorang RT.

Aku gak tau, kenapa bisa mendapat tanggal 13 maret untuk hari pernikahanku. Tau-tau sudah disepakati aja. Yang artinya waktu mengurus administrasi tinggal 1 mingguan lagi. Berkas-berkas yang udah aku kirim ke jawa, akhirnya dibalikin lagi ke Jakarta. Dibawa langsung oleh Ibuku karena kalau pakai paket akan memakan waktu lama. Begitu berkasku sampai, semua akan di urus oleh teman mas Anto itu.

Lagi… ada-ada saja yang aneh..

Masak katanya kantor KUA yang di Cikole tidak terdaftar di KUA Cipayung. Padahal KUA Cikole itu sudah terdaftar dan ada di google untuk no telpon dan alamat lengkapnya. Sementara dokumen numpang nikah yang baru itu dibutuhkan untuk dibawa Irfan ke Sukabumi, karena waktu kami cuman sedikit. Dengan waktu yang mepet itu akhirnya surat numpang nikah berhasil juga didapatkan. Irfan dari tempat kerjanya datang ke rumah di Jakarta untuk mengambil berkas dan memberi sedikit tips ke pak RT sebagai bentuk terimakasih, lanjut ke stasiun kereta untuk melakukan perjalanan ke Sukabumi mengurus administrasi pernikahan kami selanjutnya.

Tuesday, August 4, 2020

Wedding Story 20200313 : Susahnya Mendapatkan Sertifikat Nikah (1/4)

ilustrasi sertifikat nikah. sumber: https://www.docformats.com/marriage-certificate-template/


Tiap orang pasti punya Wedding dreamnya masing-masing. Ada yang ingin acara pernikahannya berlangsung megah dan meriah, adapula yang ingin sederhana saja.

Acara pernikahan impianku adalah yang kedua, sederhana, intim dan berkesan. Dihadiri oleh orang-orang terdekat dan yang dikenal saja. Rencananya sih aku pengen acara di Bandung, menyewa sebuah Villa untuk menginap keluarga, dan mengadakan acara makan di halamannya. Acara berlangsung dari sore hinggal malam, ditemani api unggun juga lampu malam yang temaram, tidak perlu live music, cukup nyalakan sound dengan playlist kesukaan, yang terpenting, dokumentasinya harus bagus.

Namun rencana tinggal rencana, inilah cerita sesungguhnya:

Setiap pasangan yang menuju hala/menikah, itu pasti ada saja cobaannya. Setidaknya begitulah cerita dari teman-teman ku. Mulai dari masalah ke vendor, baik itu baju, tempat, catering, masalah di keluarga, dan yang paling umum sihh dana. Nah kalau masalah ku sih beda lagi : Administrasi.

Paling pusing sih kalau yang namanya berurusan dengan birokrasi, sepengalaman sepanjang hidupku, gak pernah yang namanya lancar buat ngurusin administrasi. Satu contoh pengalamanku yaitu dalam pembuatan e-ktp. Dari 2012 semenjak aku pindah KK ke Jakarta sampai 2018 saat aku bekerja di Bandung. rasanya e-ktp ku baru jadi tahun lalu, saat aku nekat mengurusnya di ITB. Waktu itu ada acara yang dibuat oleh discapil.

Jadi KTP diriku itu domisilinya Jakarta, numpang KK sama keluarga tante, sekarang aku tinggal di Bandung. Nah untuk acara nikahanku nanti akan dilakukan di Wonogiri. Yah akhirnya aku mengalah pada permintaan ibuku yang ingin acara berlangsung di Wonogiri. Menurutnya aku akan lebih hemat jika menikah di sana.

Karena tempat nikah beda dengan KTP, maka aku mengurus dulu yang namanya numpang nikah. Alur pengurusan administrasi yang paling awal itu ke RT dulu, minta surat pengantar, kemudian ke kelurahan, lalu ke puskesmas, terus ke kelurahan lagi, ke kecamatan, baru deh ke KUA.

Dalam alur inilah terjadi drama, sampai harus berlinang air mata. Terutama di puskesmas Cipayung yang menurut aku, merasa sangat amat dipersulit. Jadi tujuan ke Puskesmas Cipayung itu adalah ke Poli Catin untuk mendapatkan sertifikat nikah. Saat di Poli Catin, aku disuruh isi beberapa formulir, lalu disuruh test darah. Untuk tes darah dirujuk ke RSUD Cipayung, karena mereka bilangnya lab puskesmas kurang lengkap, jadi yang di tes di puskesmas itu hanya tes HIV gitu.

Karena rujuk, aku kira test darah di RSUD Cipayung gratis, ternyata bayar. Dan di RSUD ini sepi, tidak seperti puskesmas yang dikerubunin banyak orang. Untuk tes HIV di lab puskesmas, katanya dibatasin, cuman sampai 10 orang aja dan disuruh datang lagi keesokan pagi. Memang saat itu aku datang waktu lagi jam makan siang, jadi sudah tidak ada orang di Lab. Paginya aku datang jam 8, ternyata antrian sudah 49. agak aneh, karena katanya kemarin dibatasin cuman sampai 10.

Akhirnya tiba juga giliranku setelah mengantri cukup lama. Saat diambil darah, kerjanya gak rapi, setelah beres darahku kemana-mana kapasnya kurang banyak, dan sekarang lengan aku memar hitam. dan yang anehnya orang lab gak bisa mastiin hasinyal keluar jam berapa. padahal waktu di RSUD cuman 15mnit hasil sudah keluar.

Aku butuh hasil dari Lab ini, untuk dikasih lagi ke poli catin, jadi total ada 3 pemeriksaan yang aku jalanin: tes darah di RSUD, test gigi, dan test darah di Lab Puskesmas. Semuanya cuman test selewat aja gak ada yang kelihatan serius. tapi karena orang lab gak bisa mastiin kapan hasil keluar, maka aku balik ke poli catin, tapi yang ada malah disuruh datang lagi jam 3 sore. Ini juga gak pasti apakah semuanya beres atau belum. Sementara aku harus balik lagi ke kelurahan dan lanjut KUA, dan jatah cuti habis. kalau cuti lagi, bakal potong gaji. hmm..

Coba dihari sebelumnya mereka bisa ambil darah, gak suruh datang besok paginya. Aku pasti lebih bisa hemat waktu. Dan karena desakan, muka melemas minta dikasihani, akhirnya petugas di Poli Catin memberikan Sertifikat nikah. Lihat, sertifikatnya sudah jadi tanpa kita menunggu hasil lab keluar.. dia bilang memberi pinjam sertifikat itu dan kami harus balik lagi ke puskesmas.

Total aku menghabiskan cuti 2 hari untuk bikin surat numpang nikah karena kejadian di puskesmas yang gak mengenakkan dan membuang waktu. Padahal ke puskesmas cuman butuh sertifikat nikah sebagai syarat untuk kelengkapan admin di kelurahan. Mungkin formalnya sebagai bukti sehat lah, bebas HIV dan penyakit lainnya termaksud mental yang mana serifikat itu sebagai bukti bahwa kita dirasa mampu untuk membina rumah tangga. Namun kenyataannya, boro-boro di pastikan sehat jiwa dan mentalnya, yang ada malah makin setres.

Singkat cerita, bulan februari bereslah kelengkapan administrasiku dan pasangan untuk selanjutnya di urus di KUA  Wonogiri. Tapi muncul masalah baru, lagi-lagi masalah administrasi : jadi di akte dan ktp nama bapakku berbeda, ada kesalahan di singkatan, pasangan aku juga begitu, di akte dan ktp ayahnya ada kesalahan nama. Sementara untuk ubah akte itu proses yang sangat ribet, harus ke pengadilan dulu, belum nunggu waktu sidangnya entah berapa lama. Udah bolak-balik diusahaiin tapi hasil nihil. Tetap semua dokumen harus di sinkronkan, sementara rencana nikah tanggal 22 maret tinggal menunggu hari.


Orangtuaku (Keluarga) - Writing Challenge (5/30)

ilustrasi keluarga Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluargaku bisa dibilang tidak biasa, ada beberapa keluarga yang dija...